Hibah
Oleh: Salma Faizah Arrosyidah
I.
Pendahuluan
Islam
adalah agama yang diridhoi oleh Allah SWT dan sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Karena itu tolong menolong dalam kebaikan yang diperintahkan dalam agama Islam
yang mulia ini merupakan bukti bahwa Islam benar-benar Rahmatan Lil
‘Alamin.
Pada
hakikatnya, manusia tidak hanya berhubungan dengan Tuhan yang menciptakan,
tetapi juga berhubungan dengan manusia dan alam sekitarnya. Setiap muslim
hendaknya selalu membiasakan diri bersikap dan berperilaku baik memiliki
kepedulian sosial, belas kasih, peka terhadap orang lain yang perlu dibantu.
Kepedulian sosial itu dapat diwujudkan dalam bentuk, seperti memberikan hibah
sebagai penghormatan dan kasih sayang.
Memperbanyak
berbuat kebaikan kepada orang lain dengan cara memberikan sesuatu yang kita
miliki merupakan perbuatan mulia dan dianjurkan oleh syariat Islam. Hibah ini memiliki fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat baik
yang diberikan perseorangan maupun lembaga, cukup banyak riwayat yang masyarakat
bahwa Nabi Muhammad Shalallohu ‘alaihi wasalam. Beserta para sahabatnya
memberi atau menerima sesuatu dalam bentuk hibah.
II.
Pembahasan
Definisi Hibah
Hibah secara
Bahasa memberi sesuatu kepada orang lain tanpa menggantinya, bisa berupa harta
atau selainnya. Seperti perkataan: Alloh memberi si Fulan anak yang sholih.
Hibah secara istilah kepemilikan harta tanpa
menggantinya.
Adapun
dalil dari al-Qur`an adalah firman Allah Azza wa Jalla:
فَإِنْ طِبْنَ
لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْساً فَكُلُوهُ هَنِيئاً مَرِيئاً
Kemudian
jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang
hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi
baik akibatnya (An-Nisa’:4)
Dalam
ayat ini Allah Azza wa Jalla menghalalkan memakan sesuatu yang berasal dari
hibah. Ini menunjukkan bahwa hibah itu boleh.
sedangkan
dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak sekali, diantaranya
sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
تَهَادُوْا تَحَابَوْا
Saling
memberilah kalian, niscaya kalian saling mencintai [HR. Al-Bukhâri
dalam al-Adâbul Mufrad no. 594. Hadits ini dinilai sahih oleh
al-Albani dalam kitab al-Irwa’, no. 1601]
Hukum
Hibah
Hibah menurut ijma’ hukumnya Sunnah, bisa menjadi
makruh jika dilakukan untuk kemaksiatan atau membantu dalam kedzaliman, atau
bertujuan untuk risywah (suap).
Terkadang hibbah menjadi makruh jika si pemberi
bertujuan untuk riya’, membanggakan diri, dan terkenal.
Rukun-Rukun
Hibah
Jumhur ulama mengatakan bahwasanya rukun-rukun hibah
yaitu:
1.
Al-waahib (pemberi hibbah)
2.
Al-mauhub lahu (yang diberi
hibbah)
3.
Al-hibbah (barang yang
diberikan)
4.
As-shighah (lafadz)
Adapun Hanafiyah
berpendapat bahwasanya rukun hibah ialah shighatnya (lafadznya).
Syarat – Syarat Dalam
Hibbah
1.
Syarat pemberi
Pemberi
mampu menyerahkan dengan syarat baligh rasyid, dan harta yang diberikan
merupakan kepemilikan sendiri.
Berdasarkan
itu, maka tidak sah hibah orang yang diisolasi, gila, anak kecil.
Adapun
jika ia sakit lalu meninggal, maka hibahnya seperti wasiat yakni sepertiga dari
hartanya dan tidak boleh lebih dari itu kecuali jika ahli waris menyetujuinya.
Menurut
Malikiyah hibah orang yang sakit lebih dari sepertiga hartanya itu sah atas
izin ahli waris. Begitu juga Malikiyah dan hanabilah tentang hibah suami istri
yang diisolasi lebih dari sepertiga berdasarkan izin ahli waris.
Para
ulama sepakat bahswasanya seorang bapak boleh menghibahkan harta anaknya dengan
syarat menggantinya.
2.
Syarat yang diberi
1)
Menjadi pemilik dari barang yang diberikan.
2)
Si penerima berakal, baligh, maka
ia boleh menerima hibah, jika ia belum ahli dalam menerima maka hibahnya sah
tetapi yang menerima dari orang yang ahli atau walinya.
3.
Syarat barang yang diberikan
1)
Barang yang diberikan ada.
Jumhur fuqoha’ mensyaratkan barang yang akan dihibahkan
itu ada ketika pelaksanakan hibah tersebut, karena pemberian hibah itu secara
langsung. Berdasarkan pendapat di atas bahwasanya tidak sah hibah yang ketika
berlangsungnya akad barangnya tidak ada. Hibah juga merupakan perpindahan
kepemilikan, jadi barangnya harus ada jika tidak maka akadnya bathil.
Pengecualian di atas, jika barang yang diberikan berupa
wol yang masih ada pada pungguung domba lalu menyerahkan domba itu, maka itu
diperbolehkan karena barang yang akan diberikan ada wujudnya tapi belum bisa
melakukannya langsung karena ada halangan, mungkin karena sibuknya orang yang
akan diberi. Tetapi jika dombanya bisa diserahkan maka hilanglah penghalang
tersebut dan bisa melakukan akad hibah dan menyerahkannya.
2)
Barang yang diberikan adalah milik
si pemberi hibah itu sendiri.
Ini merupakan syarat wajib, tidak boleh memberikan
barang yang kedudukannya mubah (boleh digunakan) karena itu tidak dalam
penjagaan. Begitu juga tidak boleh memberikan barang milik orang lain tanpa
izin darinya sedangkan hibah itu adalah perpindahan kepemilikan.
Menurut Hanafiyah dan malikiyah diperbolehkan
menghibahkan piutang kepada orang yang berhutang, karena sesuatu yang menjadi
tanggungan seseorang bisa diserahkan kepadanya dan bisa diambil.
Menurut Syafi’iyah dan hanabilah tidak memperbolehkan
karena menyerahkan adalah syarat diperbolehkan hibah
3)
Barang yang diberikan ialah harta
yang memiliki nilai.
Harta yang memiliki nilai yaitu harta yang menurut
syari’at berharga jika rusak maka ada tanggungan baginya.
Maka tidak boleh memberikan hibah sesuatu
yang pada dasarnya tidak berupa harta
benda seperti mayit, daging babi, darah. Juga tidak boleh menghibahkan sesuatu
yang tidak bernilai seperti khamr dan sesuatu yang haram.
4)
Barang yang diberikan merupakan
kepemilikan individu bukan umum
Tidak boleh jika barang yang dihibahkan merupakan
kepemilikan bersama/ umum.
5)
Barang mampu untuk diserahkan. Dan
sesuatu yang masih ada tanggungannya tidak bisa diserahkan. Karena hibah dalam
keadaan ini tidak bisa untuk diserahkan.
6)
Barang tersebut terpisah dari
benda lainnya dan tidak sedang dimanfaatkan untuk tempat benda lain.
Ulama Hanafiyah mensyaratkan syarat sah penyerahan
hibah yaitu tidak boleh suatu benda itu berhubungan dengan benda yang tidak
dihibahkan.
Seperti: jika seseorang memberikan kebun tanpa
tanamannya, pohon tanpa buahnya maka pemberian ini tidak sah. Tetapi jika si
pemberi memberikan kedua-duanya maka pemberiannya sah.
7)
Disyaratkan Penerimaan barang oleh
orang yang diberi hibah.
Para fuqoha’ berbeda pendapat dalam syarat penyerahan
untuk kesempurnaan hibah, apakah ketika sudah terjadi akad hibah secara
sempurna sudah kepemilikan juga pada saat itu? apakah harus menerima barang itu
dulu oleh si penerima hibah? Pada permasalahan ini para fuqoha’ ada 3 pendapat:
a.
Menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah
dan satu riwayat dari hanabilah, bahwasanya hibah tidak sempurna kecuali sudah
mampu diserahkan kepada si penerima.
b.
Menurut Hanabilah bahwa hibah sah
dan pindah kepemilikan dengan akad tanpa harus menyerahkan.
c.
Menurut Malikiyah bahwa serah
terima itu bukan syarat sah hibah, tapi ia merupakan syarat
sempurnanya hibah, jika barangnya tidak ada maka tidak lazim untuk diserahkan
dan bisa diterima.
4.
Syarat sah serah terima
1). Harus dengan izin si pemberi hibah.
Ulama berbeda pendapat pada hal ini menjadi dua
pendapat:
a.
Menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah
bahwa izin merupakan syarat sah untuk serah terima.
b.
Menurut Malikiyah dan sebagian
hanabilah bahwa izin pemberi bukan merupakan syarat dalam serah terima,
kepemilikan berpindah jika sudah ada akad.
5.
Shighat dalam hibah
Para ulama berbeda pendapat tentang rukun shighat
hibah:
Malikiyah, Syafi’iyah,
Hanabilah dan Zufar dari ulama Hanafiyah mengatakan bahwa rukun shighat dalam
hibah yaitu ijab dan qabul, dan Zufar mengatakan bahwa serah terima merupakan
rukun shighat hibah.
Hanafiyah dan Muhammad
bin yusuf mengatakan bahwa qabul dalam shighat hibah bukan merupakan rukun, dan
yang termasuk rukun hanyalah ijab saja berdasarkan istihsan.
Contoh lafadz hibah
Lafadz ijab hibah sah
dengan lafadz seperti: aku menghibahkan kepadamu sesuatu, itu sudah mengandung
bahwa barang yang dihibahkan pindah kepemilikan tanpa menggantinya, atau dengan
lafadz aku memberimu ini, dan sebagainya.
Penggantungan hibah
Hibah yang digantungkan
dengan syarat yaitu hibahnya tergantung pada shighatnya,seperti jika aku menang
akan kuberi kamu jamku. Maka hibah di sini tergantung dengan suatu perkara yang
meragukan antara terjadi atau tidak.
Dan hibah dengan lafadz
syarat maka harus ditunaikan ketika syarat itu terpenuhi, karena jika hibah itu
sudah diberikan sebelum syaratnya terpenuhi, maka sama saja syaratnya tidak ada
gunanya.
Jika hibah digantungkan
dengan waktu yang akan datang seperti minggu depan atau bulan depan, maka hibah
disandarkan kepada waktu yang akan datang.
Ditetapkannya Kepemilikan
Hibbah Bagi Yang Diberi
Ditetapkannya
kepemilikan hibbah bagi yang diberi jika akad hibah sudah sempurna, dan
asal dari hibah tidak ada ganti rugi.
Pengembalian Hibah
Para
fuqoha berbeda pendapat dalam bolehnya pengembalian hibah setelah hibah sudah
diserahkan kepada penerima:
Menurut
Malikiyah dan Hanabilah: tidak boleh menarik kembali hibah, kecuali hibah bapak
kepada anak. Begitu juga pendapat sebagian Syafi’iyah.
Hujjah yang berpendapat
ini ialah hadits”
“Tidak diperbolehkkan
menarik kembali sebuah pemberian kecuali pemberian bapak kepada anak.”
Pendapat
kedua dari ulama Hanafiyah bahwasanya boleh pengemablian kembali hibah jika
tidak ada penghalang yang menghalangi pengambilan kembali hibah.
Hujjah mereka ialah:
“pemberi hibah lebih berhak terhadap hibah yang dia berikan
selama orang yang diberi belum membalasnya.”
Maksudnya selama tidak
ada pemberian balasan dari orang yang diberi.
Penghalang Pengembalian
Kembali Hibah
Menurut Hanafiyah:
1.
Rusaknya barang pemberian, jika
barang yang diberikan rusak maka tidak boleh barang tersebut tidak bisa diambil
kembali oleh si pemberi.
2.
Barang yang diberikan keluar dari
kepemilikan orang yang diberi dengan sebab dijual, atau dihibahkan atau mati.
3.
Bertambahnya dan barang hibah yang
menyatu, baik terjadi karena perbuatan orang yang diberi atau orang lain.
4.
Meninggalnya salah satu pihak
dalam akad hibah.
5.
Berubahnya barang pemberian.
Menurut Malikiyah:
Gugurnya hak bapak atau
ibu dalam pengembalian kembali hibah dari anak jika,:
1.
Bertambahnya barang hibah atau
berkurang dari dzatnya.
2.
Meninggalnya si pemberi, hibah
tidak bisa diambil kembali karena keterkaitan barang hibah dengan warisan.
3.
Tidak adanya barang hibah pada si
pemberi, baik karena dijual atau dihibahkan ke orang lain atau hilangnya sifat
pada barang tersebut.
Menurut Syafi’iyah:
Tidak boleh bagi si
ayah dan ushul-ushulnya untuk meminta kembali hibah jika barang hibah keluar
dari kepemilikan dan kekuasaan anak. Hal ini berlaku dengan sebab apapun,
seperti dijual, diberikan kepada orang lain atau diwakafkan .
Jika si anak menjual
barang yang diberikan dari ayahnya, lalu kembali dengan jalan ia membelinya
kembali maka untuk si ayah tidak boleh mengambilnya kembali karena kepemilikan
anak karena sebab baru.
Menurut Hanabilah:
1.
Barang yang diberikan keluar dari
kepemilikan orang yang diberi, baik dengan sebab dijual, atau diberikan kepada
orang lain, diwakafkan, diwariskan dan lain-lain.
2.
Tambahan yang ada pada barang yang
diberi yang mana tambahan itu menyatu, seperti bertambah gemuk, besar, dan
lain-lain.
3.
Menurut imam Ahmad boleh bagi si
istri mengembalikan mahar yang diberikan suami kepadanya ketika ia ditalak,
karena dengan pemberian mahar itu menunjukkan bertahannya pernikahan, maka
ketika ia ditalak maka ia boleh mengembalikannya.
Akibat Yang Terjadi
Jika Ada Pengembalian Pada Barang Hibah
1.
Kepemilikan barang hibah kembali
pada si pemberi hibah.
2.
Si pemberi memiliki kembali barang
tersebut, meskipun barang belum diserahkan karena serah terima itu diibaratkan
untuk perpindahan kepemilikan bukan kembalinya kepemilikan lama.
3.
Jika si penerima memberikan barang
hibah kepada si pemberi, jika itu ia lakukan tanpa ridho, maka kepemilikan
hibah kembali ke semula. Ini berdasarkan dengan:
·
Bahwa si pemberi tidak memilikinya
sampai barang diterima.
·
Jika sudah diterima, maka
pengembaliannya itu harus dengan salin ridho.
·
Si penerima tidak harus
mengembalikannya.
III.
Penutupan
Kesimpulan
1.
Hibah menurut ijma’
hukumnya Sunnah.
2.
Ditetapkannya kepemilikan hibbah
bagi yang diberi jika akad hibah sudah sempurna, dan asal dari hibah
tidak ada ganti rugi.
3.
Hibah dengan lafadz
syarat maka harus ditunaikan ketika syarat itu terpenuhi.
4.
Menurut Malikiyah dan Hanabilah:
tidak boleh menarik kembali hibah, kecuali hibah bapak kepada anak. Begitu juga
pendapat sebagian Syafi’iyah.
5.
Pendapat kedua dari ulama Hanafiyah
bahwasanya boleh mengemabalikan kembali hibah jika tidak ada penghalang yang
menghalangi pengambilan kembali hibah.
6.
Dalam hal penghalang pengembalian
hibah ulama berbeda pendapat seperti yang telah dijelaskan di atas.
Referensi:
Maushu’ah Fiqhiyah
Al-Kuwaitiyah Jilid 42