Selasa, 03 September 2019

Review Skripsi Bab I


Review Skripsi Bab I
Reviewer: Salma Faizah Arrosyidah
SAFAR WANITA TANPA MAHRAM UNTUK BEKERJA MENURUT EMPAT MAZHAB (Studi Analisis)
Disusun oleh: Anjar Fathonah

àJudul skripsi ialah hal yang sangat penting, karena judul sangat erat kaitannya dengan isi. Judul yang diangkat, disajikan dengan jelas dan singkat. Sudah mencakup dengan pembahasan yang diinginkan penulis.
A.    LATAR BELAKANG
Dalam syari’at islam seorang wanita harus menetap di rumah tidak keluar kecuali karena suatu kebutuhan. Rumah merupakan tempat utama bagi wanita. Hendaknya seorang wanita tidak keluar rumah meskipun dia bisa berhati-hati.
Pada dasarnya wanita bekerja di luar rumah dilarang, akan tetapi banyak persoalan yang dialami kaum wanita di abad modern ini, banyaknya kemiskinan sehingga menjadikan banyaknya jumlah kaum wanita yang bekerja di lapangan.
Islam tidak mengekang para wanita untuk tidak bekerja, hanya saja ada syarat-syarat yang harus dipenuhi demi menjaga kehormatan serta keamanan wanita itu sendiri.
àLatar belakang masalah sudah runtut, menjelaskan bagaimana keharusan wanita, lalu hukum bekerja jika mendesak, hingga kebolehan bekerja jika memenuhi syarat akan tetapi isi lbm terlalu panjang, bertele-tele tidak langsung pada inti permasalahan. Bisa disingkat lebih sedikit lagi dan mengena ke intinya dari 4 lembar menjadi 2 lembar.
B.     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis akan memfokuskan masalah yang akan dicari jawabannya adalah:
Bagaimana hukum safar wanita tanpa mahram untuk bekerja menurut empat mazhab?
àSebaiknya dalam rumusan masalah skripsi kata tanya yang digunakan ialah apa, tidak bagaimana, karena normatifnya skripsi menggunakan kata tanya apa. yang mana penulis sendiri masih menggunakan kata bagaimana.
C.     TUJUAN PENELITIAN
Sudah baik tujuan penelitiannya. Sudah sesuai dengan rumusan masalahnya.
D.    MANFAAT PENELITIAN
1.      Secara Teoritis
Sudah baik
2.      Secara praktis
Sudah baik
E.     Kajian pustaka
Kajian pustaka yang ditulis memiliki keterkaitan dengan tema yang diangkat oleh penulis. Buku yang digunakan di antaranya:
1.      Audhahul bayan fi hukmi safarin niswah oleh sumair bin amir az-zuhri
2.      Kasful mubham ‘an hukmi safari mar’ah biduni mahram oleh musthafa al-‘adawi dan lain sebagainya
F.      Metode penelitian
1.      Jenis penelitian
Menurut jenisnya, penelitian ini termasuk penelitian perpustakaan(library research) yaitu studi yang memfokuskan pembahasan pada literature-literatur baik berupa buku, jurnal, makalah-makalah atau literature lain yang mengenai materi-materi pembahasan.
2.      Teknik pengumpulan data
Jenis yang digunakan adalah jenis perpustakaan, maka metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah dengan cara membaca, mempelajari, memahami, serta menela’ah secara mendalam berbagai literature-litertur mengenai safar wanita tanpa mahram untuk bekerja menurut empat mazhab.
3.      Sumber data
Sumber data dalam penelitian ini berasal dari sumber data primer dan data sekunder:
a.       Sumber primer
Sumber data primer ialah sumber data yang diperoleh melalui pengamatan dan analisa terhadap literatur-literatur pokok yang dipilih untuk dikaji kembali kesesuaiannya antara teks dengan realitas berdasarkan berbagai macam tinjauan ilmiah.
b.      Sumber sekunder
Sumber data sekunder ialah sumber data yang di peroleh dari sumber-sumber bacaan yang mendukung sumber primer yang dianggap relevan, hal tersebut sebagai penyempurnaan bahan penelitian terhadap bahasan dan pemahaman peneliti. Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah kitab-kitab yang berkaitan dengan skripsi ini.
4.      Metode analisis data
Metode yang digunakan ialah metode analisa yang dilakukan dengan jalan content analisis, yaitu analisis secara langsung pada diskripsi isi pembahasan buku primer.
àMetode yang dipakai sudah cukup bagus, dan penulisan skripsi sudah sesuai dengan metode yang digunakan oleh penulis.
5.      Sistematika penulisan
Sebagai penjabaran lebih lanjut penulisan ini maka penulis menyusun sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I       : Pendahuluan, latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan masalah, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika penelitian.
BAB II      : Dalam bab ini akan dibahas landasan teori yang berkenaan tentang definisi safar, mahram, bekerja dan empat mazhab.
BAB III    : Pembahasan focus kajian safar wanita tanpa mahram menurut empat mazhab.
BAB IV    : Kesimpulan yang diambil dari rangkuman penelitian, saran, penutup.
è Sistematika yang dipaparkan sudah bagus, sudah runtut dan sesuai dengan urutan pembahasan. Sehingga pembaca tidak mengalami kebingungan ketika membaca skripsi penulis. Kajian yang disajikan sudah mewakili dan terbahas secara komprehensif jika dilihat dari sistematika penulisan.


Selasa, 12 Februari 2019

PENGERTIAN HIBAH DAN HUKUM-HUKUMNYA



Hibah
Oleh: Salma Faizah Arrosyidah



I.                   Pendahuluan
Islam adalah agama yang diridhoi oleh Allah SWT dan sebagai rahmat bagi seluruh alam. Karena itu tolong menolong dalam kebaikan yang diperintahkan dalam agama Islam yang mulia ini merupakan bukti bahwa Islam benar-benar Rahmatan Lil ‘Alamin.
Pada hakikatnya, manusia tidak hanya berhubungan dengan Tuhan yang menciptakan, tetapi juga berhubungan dengan manusia dan alam sekitarnya. Setiap muslim hendaknya selalu membiasakan diri bersikap dan berperilaku baik memiliki kepedulian sosial, belas kasih, peka terhadap orang lain yang perlu dibantu. Kepedulian sosial itu dapat diwujudkan dalam bentuk, seperti memberikan hibah sebagai penghormatan dan kasih sayang.
Memperbanyak berbuat kebaikan kepada orang lain dengan cara memberikan sesuatu yang kita miliki merupakan perbuatan mulia dan dianjurkan oleh syariat Islam. Hibah ini memiliki fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat baik yang diberikan perseorangan maupun lembaga, cukup banyak riwayat yang masyarakat bahwa Nabi Muhammad Shalallohu ‘alaihi wasalam. Beserta para sahabatnya memberi atau menerima sesuatu dalam bentuk hibah.

II.                Pembahasan
Definisi Hibah
Hibah secara Bahasa memberi sesuatu kepada orang lain tanpa menggantinya, bisa berupa harta atau selainnya. Seperti perkataan: Alloh memberi si Fulan anak yang sholih.
Hibah secara istilah kepemilikan harta tanpa menggantinya.
Adapun dalil dari al-Qur`an adalah firman Allah Azza wa Jalla:
فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْساً فَكُلُوهُ هَنِيئاً مَرِيئاً
Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya (An-Nisa’:4)
Dalam ayat ini Allah Azza wa Jalla menghalalkan memakan sesuatu yang berasal dari hibah. Ini menunjukkan bahwa hibah itu boleh.
sedangkan dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak sekali, diantaranya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
تَهَادُوْا تَحَابَوْا
Saling memberilah kalian, niscaya kalian saling mencintai [HR. Al-Bukhâri dalam al-Adâbul Mufrad no. 594. Hadits ini dinilai sahih oleh al-Albani dalam kitab al-Irwa’, no. 1601]
Hukum Hibah
Hibah menurut ijma’ hukumnya Sunnah, bisa menjadi makruh jika dilakukan untuk kemaksiatan atau membantu dalam kedzaliman, atau bertujuan untuk risywah (suap).
Terkadang hibbah menjadi makruh jika si pemberi bertujuan untuk riya’, membanggakan diri, dan terkenal.
Rukun-Rukun Hibah
Jumhur ulama mengatakan bahwasanya rukun-rukun hibah yaitu:
1.      Al-waahib (pemberi hibbah)
2.      Al-mauhub lahu (yang diberi hibbah)
3.      Al-hibbah (barang yang diberikan)
4.      As-shighah (lafadz)
Adapun Hanafiyah berpendapat bahwasanya rukun hibah ialah shighatnya (lafadznya).
Syarat – Syarat Dalam Hibbah
1.      Syarat pemberi
Pemberi mampu menyerahkan dengan syarat baligh rasyid, dan harta yang diberikan merupakan kepemilikan sendiri.
Berdasarkan itu, maka tidak sah hibah orang yang diisolasi, gila, anak kecil.
Adapun jika ia sakit lalu meninggal, maka hibahnya seperti wasiat yakni sepertiga dari hartanya dan tidak boleh lebih dari itu kecuali jika ahli waris menyetujuinya.
Menurut Malikiyah hibah orang yang sakit lebih dari sepertiga hartanya itu sah atas izin ahli waris. Begitu juga Malikiyah dan hanabilah tentang hibah suami istri yang diisolasi lebih dari sepertiga berdasarkan izin ahli waris.
Para ulama sepakat bahswasanya seorang bapak boleh menghibahkan harta anaknya dengan syarat menggantinya.
2.      Syarat yang diberi
1)      Menjadi pemilik dari barang yang diberikan.
2)      Si penerima berakal, baligh, maka ia boleh menerima hibah, jika ia belum ahli dalam menerima maka hibahnya sah tetapi yang menerima dari orang yang ahli atau walinya.
3.      Syarat barang yang diberikan
1)      Barang yang diberikan ada.
Jumhur fuqoha’ mensyaratkan barang yang akan dihibahkan itu ada ketika pelaksanakan hibah tersebut, karena pemberian hibah itu secara langsung. Berdasarkan pendapat di atas bahwasanya tidak sah hibah yang ketika berlangsungnya akad barangnya tidak ada. Hibah juga merupakan perpindahan kepemilikan, jadi barangnya harus ada jika tidak maka akadnya bathil.
Pengecualian di atas, jika barang yang diberikan berupa wol yang masih ada pada pungguung domba lalu menyerahkan domba itu, maka itu diperbolehkan karena barang yang akan diberikan ada wujudnya tapi belum bisa melakukannya langsung karena ada halangan, mungkin karena sibuknya orang yang akan diberi. Tetapi jika dombanya bisa diserahkan maka hilanglah penghalang tersebut dan bisa melakukan akad hibah dan menyerahkannya.
2)      Barang yang diberikan adalah milik si pemberi hibah itu sendiri.
Ini merupakan syarat wajib, tidak boleh memberikan barang yang kedudukannya mubah (boleh digunakan) karena itu tidak dalam penjagaan. Begitu juga tidak boleh memberikan barang milik orang lain tanpa izin darinya sedangkan hibah itu adalah perpindahan kepemilikan.
Menurut Hanafiyah dan malikiyah diperbolehkan menghibahkan piutang kepada orang yang berhutang, karena sesuatu yang menjadi tanggungan seseorang bisa diserahkan kepadanya dan bisa diambil.
Menurut Syafi’iyah dan hanabilah tidak memperbolehkan karena menyerahkan adalah syarat diperbolehkan hibah
3)      Barang yang diberikan ialah harta yang memiliki nilai.
Harta yang memiliki nilai yaitu harta yang menurut syari’at berharga jika rusak maka ada tanggungan baginya.
Maka tidak boleh memberikan hibah sesuatu yang pada dasarnya tidak  berupa harta benda seperti mayit, daging babi, darah. Juga tidak boleh menghibahkan sesuatu yang tidak bernilai seperti khamr dan sesuatu yang haram.

4)      Barang yang diberikan merupakan kepemilikan individu bukan umum
Tidak boleh jika barang yang dihibahkan merupakan kepemilikan bersama/ umum.
5)      Barang mampu untuk diserahkan. Dan sesuatu yang masih ada tanggungannya tidak bisa diserahkan. Karena hibah dalam keadaan ini tidak bisa untuk diserahkan.
6)      Barang tersebut terpisah dari benda lainnya dan tidak sedang dimanfaatkan untuk tempat benda lain.
Ulama Hanafiyah mensyaratkan syarat sah penyerahan hibah yaitu tidak boleh suatu benda itu berhubungan dengan benda yang tidak dihibahkan.
Seperti: jika seseorang memberikan kebun tanpa tanamannya, pohon tanpa buahnya maka pemberian ini tidak sah. Tetapi jika si pemberi memberikan kedua-duanya maka pemberiannya sah.
7)      Disyaratkan Penerimaan barang oleh orang yang diberi hibah.
Para fuqoha’ berbeda pendapat dalam syarat penyerahan untuk kesempurnaan hibah, apakah ketika sudah terjadi akad hibah secara sempurna sudah kepemilikan juga pada saat itu? apakah harus menerima barang itu dulu oleh si penerima hibah? Pada permasalahan ini para fuqoha’ ada 3 pendapat:
a.       Menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah dan satu riwayat dari hanabilah, bahwasanya hibah tidak sempurna kecuali sudah mampu diserahkan kepada si penerima.
b.      Menurut Hanabilah bahwa hibah sah dan pindah kepemilikan dengan akad tanpa harus menyerahkan.
c.       Menurut Malikiyah bahwa serah terima itu bukan syarat sah hibah, tapi ia merupakan syarat sempurnanya hibah, jika barangnya tidak ada maka tidak lazim untuk diserahkan dan bisa diterima.
4.      Syarat sah serah terima
1). Harus dengan izin si pemberi hibah.
Ulama berbeda pendapat pada hal ini menjadi dua pendapat:
a.       Menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah bahwa izin merupakan syarat sah untuk serah terima.
b.      Menurut Malikiyah dan sebagian hanabilah bahwa izin pemberi bukan merupakan syarat dalam serah terima, kepemilikan berpindah jika sudah ada akad.

5.      Shighat dalam hibah
Para ulama berbeda pendapat tentang rukun shighat hibah:
Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah dan Zufar dari ulama Hanafiyah mengatakan bahwa rukun shighat dalam hibah yaitu ijab dan qabul, dan Zufar mengatakan bahwa serah terima merupakan rukun shighat hibah.
Hanafiyah dan Muhammad bin yusuf mengatakan bahwa qabul dalam shighat hibah bukan merupakan rukun, dan yang termasuk rukun hanyalah ijab saja berdasarkan istihsan.
Contoh lafadz hibah
Lafadz ijab hibah sah dengan lafadz seperti: aku menghibahkan kepadamu sesuatu, itu sudah mengandung bahwa barang yang dihibahkan pindah kepemilikan tanpa menggantinya, atau dengan lafadz aku memberimu ini, dan sebagainya.
Penggantungan hibah
Hibah yang digantungkan dengan syarat yaitu hibahnya tergantung pada shighatnya,seperti jika aku menang akan kuberi kamu jamku. Maka hibah di sini tergantung dengan suatu perkara yang meragukan antara terjadi atau tidak.
Dan hibah dengan lafadz syarat maka harus ditunaikan ketika syarat itu terpenuhi, karena jika hibah itu sudah diberikan sebelum syaratnya terpenuhi, maka sama saja syaratnya tidak ada gunanya.
Jika hibah digantungkan dengan waktu yang akan datang seperti minggu depan atau bulan depan, maka hibah disandarkan kepada waktu yang akan datang.
Ditetapkannya Kepemilikan Hibbah Bagi Yang Diberi
Ditetapkannya kepemilikan hibbah bagi yang diberi jika akad hibah sudah sempurna, dan asal dari hibah tidak ada ganti rugi.
Pengembalian Hibah
Para fuqoha berbeda pendapat dalam bolehnya pengembalian hibah setelah hibah sudah diserahkan kepada penerima:
Menurut Malikiyah dan Hanabilah: tidak boleh menarik kembali hibah, kecuali hibah bapak kepada anak. Begitu juga pendapat sebagian Syafi’iyah.
Hujjah yang berpendapat ini ialah hadits”
“Tidak diperbolehkkan menarik kembali sebuah pemberian kecuali pemberian bapak kepada   anak.”
Pendapat kedua dari ulama Hanafiyah bahwasanya boleh pengemablian kembali hibah jika tidak ada penghalang yang menghalangi pengambilan kembali hibah.
Hujjah mereka ialah:
“pemberi hibah  lebih berhak terhadap hibah yang dia berikan selama orang yang diberi belum membalasnya.”
Maksudnya selama tidak ada pemberian balasan dari orang yang diberi.
Penghalang Pengembalian Kembali Hibah
Menurut Hanafiyah:
1.              Rusaknya barang pemberian, jika barang yang diberikan rusak maka tidak boleh barang tersebut tidak bisa diambil kembali oleh si pemberi.
2.              Barang yang diberikan keluar dari kepemilikan orang yang diberi dengan sebab dijual, atau dihibahkan atau mati.
3.              Bertambahnya dan barang hibah yang menyatu, baik terjadi karena perbuatan orang yang diberi atau orang lain.
4.              Meninggalnya salah satu pihak dalam akad hibah.
5.              Berubahnya barang pemberian.
Menurut Malikiyah:
Gugurnya hak bapak atau ibu dalam pengembalian kembali hibah dari anak jika,:
1.              Bertambahnya barang hibah atau berkurang dari dzatnya.
2.              Meninggalnya si pemberi, hibah tidak bisa diambil kembali karena keterkaitan barang hibah dengan warisan.
3.              Tidak adanya barang hibah pada si pemberi, baik karena dijual atau dihibahkan ke orang lain atau hilangnya sifat pada barang tersebut.
Menurut Syafi’iyah:
Tidak boleh bagi si ayah dan ushul-ushulnya untuk meminta kembali hibah jika barang hibah keluar dari kepemilikan dan kekuasaan anak. Hal ini berlaku dengan sebab apapun, seperti dijual, diberikan kepada orang lain atau diwakafkan .
Jika si anak menjual barang yang diberikan dari ayahnya, lalu kembali dengan jalan ia membelinya kembali maka untuk si ayah tidak boleh mengambilnya kembali karena kepemilikan anak karena sebab baru.
Menurut Hanabilah:
1.                  Barang yang diberikan keluar dari kepemilikan orang yang diberi, baik dengan sebab dijual, atau diberikan kepada orang lain, diwakafkan, diwariskan dan lain-lain.
2.                  Tambahan yang ada pada barang yang diberi yang mana tambahan itu menyatu, seperti bertambah gemuk, besar, dan lain-lain.
3.                  Menurut imam Ahmad boleh bagi si istri mengembalikan mahar yang diberikan suami kepadanya ketika ia ditalak, karena dengan pemberian mahar itu menunjukkan bertahannya pernikahan, maka ketika ia ditalak maka ia boleh mengembalikannya.
Akibat Yang Terjadi Jika Ada Pengembalian Pada Barang Hibah
1.      Kepemilikan barang hibah kembali pada si pemberi hibah.
2.      Si pemberi memiliki kembali barang tersebut, meskipun barang belum diserahkan karena serah terima itu diibaratkan untuk perpindahan kepemilikan bukan kembalinya kepemilikan lama.
3.      Jika si penerima memberikan barang hibah kepada si pemberi, jika itu ia lakukan tanpa ridho, maka kepemilikan hibah kembali ke semula. Ini berdasarkan dengan:
·         Bahwa si pemberi tidak memilikinya sampai barang diterima.
·         Jika sudah diterima, maka pengembaliannya itu harus dengan salin ridho.
·         Si penerima tidak harus mengembalikannya.


III.              Penutupan
Kesimpulan
1.      Hibah menurut ijma’ hukumnya Sunnah.
2.      Ditetapkannya kepemilikan hibbah bagi yang diberi jika akad hibah sudah sempurna, dan asal dari hibah tidak ada ganti rugi.
3.      Hibah dengan lafadz syarat maka harus ditunaikan ketika syarat itu terpenuhi.
4.      Menurut Malikiyah dan Hanabilah: tidak boleh menarik kembali hibah, kecuali hibah bapak kepada anak. Begitu juga pendapat sebagian Syafi’iyah.
5.      Pendapat kedua dari ulama Hanafiyah bahwasanya boleh mengemabalikan kembali hibah jika tidak ada penghalang yang menghalangi pengambilan kembali hibah.
6.      Dalam hal penghalang pengembalian hibah ulama berbeda pendapat seperti yang telah dijelaskan di atas.



Referensi:
Maushu’ah Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah Jilid 42