Jumat, 03 Agustus 2018

Upload foto bermesraan di social media, bolehkah?


Media social atau yang biasa disingkat medsos sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia modern saat ini. Mulai dari remaja, orang dewasa, anak-anak, sampai kakek nenek hampir semua memiliki akun sosmed. Bahkan bayi yang baru lahir yang notabene belum bisa jalan dan bicara dan belum mengerti hp dan computer pun juga sudah punya akun medsos. Nah, salah satu yang aktivitas digemari dalam medsos selain curhat adalah upload foto.
Tak kalahnya pasangan pengantin baru pun juga mengekspresikan kedekatan hubungan mereka di media social. Dalam hubungan rumah tangga, kemesraan antara suami dan istri adalah sebuah keharusan, karena kemesraan merupakan bukti kehangatan hubungan pasutri. Namun begitu, sepasang suami dan istri sebaiknya paham bahwa kemesraan tidak harus diumbar di depan publik.
berpegangan tangan atau bergandengan saja memang diperbolehkan dengan catatan tidak diperbolehkan memperlihatkan hal-hal lain yang sifatnya lebih intim. Misalnya berciuman dan lain sebagainya.
Para ulama sepakat menegaskan bahwa mencium istri di depan umum merupakan sebab penghilang kewibawaan. Al-Bajirami seperti dikutip dari konsultasi syariah mengatakan,
Mencium wanita meskipun itu mahramnya di malam kebahagiaannya, dengan dilihat banyak orang atau wanita lain telah menggugurkan sifat keadilan (kehormatan status dalam agama), karena ini menunjukkan sikapnya yang rendah, meskipun Al-Bulqini mendiamkannya.”
Selain itu, mengumbar kemesraan di depan umum pun dapat membuat orang yang belum diberi kesempatan menikah menjadi sedih atau bahkan iri. Jadi, sebisa mungkin bijaksanalah dalam bertindak dalam social media.
Sekali lagi di sini mari kita tegas dengan diri kita masing-masing, bahwa kemesraan pasangan suami istri bukanlah konsumsi yang murah untuk public. Jadikan kemesraan suami istri sebagai sesuatu yang special untuk kedua pasangan bukan public.
Di bawah ini ada beberapa hal yang mungkin bisa membuat kita sadar, bahwasanya mengumbar kemesraan bukanlah hal yang layak dipamerkan, di antaranya:
Pertama, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan agar umatnya memiliki sifat malu. Bahkan beliau sebut, itu bagian dari konsekuensi iman.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ شُعْبَةً وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ
Iman itu ada tujuh puluh sekian cabang. Dan rasa malu salah satu cabang dari iman. (HR. Ahmad 9361, Muslim 161, dan yang lainnya).
Dan bagian dari rasa malu adalah tidak menampakkan perbuatan yang tidak selayaknya dilakukan di depan umum.
Kedua, islam juga mengajarkan agar seorang muslim menghindari khawarim al-muru’ah. Apa itu khawarim al-muru’ah? Itu adalah semua perbuatan yang bisa menjatuhkan martabat dan wibawa seseorang. Dia menjaga adab dan akhlak yang mulia.
Ibnu Sholah mengatakan,
أجمع جماهير أئمة الحديث والفقه على أنه يشترط فيمن يحتج بروايته أن يكون عدلاً ضابطاً لما يرويه .وتفصيله أن يكون : مسلماً بالغاً عاقلاً، سالماً من أسباب الفسق وخوارم المروءة
Jumhur ulama hadis dan fiqh sepakat, orang yang riwayatnya boleh dijadikan hujjah disyaratkan harus orang yang adil dan kuat hafalan (penjagaan)-nya terhadap apa yang dia riwayatkan. Dan rinciannya, dia harus muslim, baligh, berakal sehat, dan bersih dari sebab-sebab karakter fasik dan yang menjatuhkan wibawanya. (Muqadimah Ibnu Sholah, hlm. 61).
Dan bagian dari menjaga wibawa adalah tidak menampakkan foto kemesraan di depan umum.
Syaikh Muhammad bin Ibrahim – Mufti resmi Saudi pertama – menyatakan tentang hukum mencium istri di depan umum,
بعض الناس -والعياذ بالله- من سوء المعاشرة أنه قد يباشرها بالقبلة أمام الناس ونحو ذلك ، وهذا شيء لا يجوز
Sebagian orang, bagian bentuk kurang baik dalam bergaul dengan istri, terkadang dia mencium istrinya di depan banyak orang atau semacamny. Dan ini tidak boleh. – kita berlindung kepada Allah dari dampak buruknya –. (Fatawa wa Rasail Muhammad bin Ibrahim, 10/209).
An-Nawawi dalam kitab al-Minhaj menyebutkan beberapa perbuatan yang bisa menurunkan kehormatan dan wibawa manusia,
وقبلة زوجة وأمة بحضرة الناس، وإكثار حكايات مضحكة
Mencium istri atau budaknya di depan umum, atau banyak menyampaikan cerita yang memicu tawa pendengar. (al-Minhaj, hlm. 497).
Ketiga, gambar semacam ini bisa memicu syahwat orang lain yang melihatnya. Terutama ketika terlihat bagian badan wanita, tangannya atau wajahnya.. lelaki jahat bisa memanfaatkannya untuk tindakan yang tidak benar.
Dan memicu orang untuk berbuat maksiat, termasuk perbuatan maksiat.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
Barangsiapa yang mengajak kepada sebuah kesesatan maka dia mendapatkan dosa seperti dosa setiap orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun. (HR. Ahmad 9160, Muslim 6980, dan yang lainnya).
Itu beberapa hal yang harus kita ketahui, agar kita lebih bisa mewaspadai akan tidak pantasnya kita mengumbar kemesraan suami istri di media social. Bisa jadi ketika kita menganggap itu hal biasa, tapi orang lain menganggapnya sebagai hal yang tidak layak ditontonkan bahkan sebagai sumber dosa.
wallahu a’lam.


Selasa, 17 April 2018

Menghina dan Melecehkan Agama

Menghina dan Melecehkan Agama
Oleh: Salma Faizah Arrosyidah

Menghina ialah perbuatan tercela apapun macam dan bentuknya, kepada siapapun ditujukan. Minimal itu adalah sebuah kedzoliman kepada sesama hamba dan klimaksnya adalah sebuah kekufuran yang menyebabkan status seseorang berubah dari muslim ke kafir bahkan hukumannya adalah dibunuh tanpa harus diminta untuk bertaubat dan meminta maaf.
Akhir-akhir ini umat islam diresahkan dengan ucapan seorang penghina syari’at islam yang berhasil mengundang amarah. Bagaimana tidak, yang dihina bukanlah hal yang remeh melainkan agama islam yang mulia yang dinaungi oleh rahmat-Nya. Maka dari itu kita dituntut untuk berhati-hati menjaga lisan kita. Islam telah mengajarkan umatnya agar selalu berkata-kata yang baik dan bermanfaat dan melarang berkata kotor dan menyakiti hati orang lain.

Definisi

الإستهزاء menurut Bahasa ialah dari kata الهَزء yang artinya olok-olok, cemooh, ejekan. Menurut istilah ialah menampakkan perbuatan atau perkataan secara sengaja untuk mencela agama, memandang remeh dan menghina Alloh dan Rosul-Nya.

Dalil Tentang Istihza’
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (65) لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ (66)
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, "Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah, "Apakah dengan Allah. Ayat - ayat-Nya, dan Rasul-Nya kalian selalu berolok-olok?” Tidak usah kalian minta maaf, karena kalian kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan dari kalian (lantaran mereka bertobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa. (QS. At-Taubah: 65-66)

Sejarah Istihza’

Diriwayatkan dari Ibnu Umar, Muhammad bin Kaab, Zaid bin Aslam, dan Qatadah, suatu hadits dengan rangkuman sebagai berikut: “Bahwasanya ketika dalam peperangan tabuk, ada seseorang yang berkata: “Belum pernah kami melihat seperti para ahli membaca Al-Qur’an (qurra’) ini, orang yang lebih buncit perutnya, dan lebih dusta mulutnya, dan lebih pengecut dalam peperangan”, yang dimaksud adalah Rasulullah  dan para sahabat yang ahli membaca Al-Qur’an. Maka berkatalah Auf bin Malik kepadanya: “kau pendusta, kau munafik, aku beritahukan hal ini kepada Rasulullah”, lalu berangkatlah Auf bin Malik kepada Rasulullah untuk memberitahukan hal ini kepada beliau, akan tetapi sebelum ia sampai, telah turun wahyu kepada beliau.
Dan ketika orang itu datang kepada Rasulullah beliau sudah beranjak dari tempatnya dan menaiki untanya, maka berkatalah ia kepada Rasulullah: “ya Rasulullah, sebenarnya kami hanya bersenda gurau dan mengobrol sebagaimana obrolan orang yang mengadakan perjalanan untuk menghilangkan penatnya perjalanan”.
Maka Allah Ta’ala menjawabnya melalui firman-Nya: Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kalian selalu berolok-olok (At-Taubah: 65) Sampai dengan firman-Nya: mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa. (At-Taubah: 66) Sedangkan kedua telapak kaki lelaki itu terseret di atas batu-batuan, tetapi Rasulullah Sholallohu ‘Alaihi Wasallam. tidak menolehnya, dan lelaki itu bergantungan pada pedang Rasulullah Sholallohu ‘Alaihi Wasallam.

Sebab-Sebab Istihza’

Tentunya ada sebab dibalik seseorang melakukan sebuah tindakan, apalagi yang dia lakukan ialah melecehkan agama. Sebab-sebab tersebut dibagi menjadi dua:
1.      Penyebab dari dalam (diri sendiri)
2.      Penyebab dari yang lain
Penyebab dari dalam:
1.      Iri dengki
2.      Hasad
3.      Sombong
4.      Nifak
5.      Bodoh
6.      Lemahnya iman dan akal
7.      Cinta terhadap harta
Sebab dari luar:
1.      Taqlidul a’ma adalah meniru tanpa mengetahui dasar hukumnya, mereka mengikuti nenek moyang mereka. Jika mereka diperintah untuk mengikuti apa yang dikatakan Alloh, mereka justru menjawab kami mengikuti nenek moyang kami.
2.      Melencengnya pemikiran umat
3.      Lemahnya kekuasaan ulama
Ulama merupakan warisan para nabi, merekalah yang membawa syari’at islam dan yang menyerukan agama islam. Betapa pentingnya ulama dalam kehidupan kita untuk peningkatan segala sisi kehidupan manusia baik amal, perkataan, politik, dan lain-lain.

Hukum Istihza’

Istihzaa’ termasuk salah satu dari pembatal-pembatal keislaman. Dalam ta’liq (syarah) terhadap kitab Aqidah Ath Thahawiyah, Syaikh Shalih Al Fauzan mengatakan: “Pembatal-pembatal keislaman sangat banyak. Diantaranya adalah juhud (pengingkaran), syirik dan memperolok-olok agama atau sebagian dari syi’ar agama –meskpin ia tidak mengingkarinya-. Pembatal-pembatal keislaman sangat banyak.
Para ulama dan ahli fiqih telah menyebutkannya dalam bab-bab riddah (kemurtadan). Diantaranya juga adalah menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.” Ketika mengomentari surat At Taubah ayat 64-66 di atas, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Ayat ini merupakan nash bahwasanya memperolok-olok Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya hukumnya kafir.”

Lalu Apakah Taubat Mereka Diterima?
Tidak ada batas minimal sesuatu itu dikatakan istihza’, karena sekecil apapun itu, bagaimanapun bentuknya istihza’ merupakan suatu kekufuran. Seperti isyarat dengan mulut, tangan, mata meskipun itu tidak diucapkan.
Orang yang menghina Allah Ta’ala dan dien ini tidak diberi udzur (kesempatan untuk minta maaf dengan alasan tertentu) kecuali karena dipaksa, dan Allah Ta’ala tidak memberi udzur kecuali karena sebab dipaksa dengan syarat hatinya masih mantap dengan keimanan sebagaimana firman Allah:

مَن كَفَرَ بِاللهِ مِن بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِاْلإِيمَانِ وَلَكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan) kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dengan iman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran maka kemurkaaan Allah menimpanya dan baginya adzab yang besar”.(QS.An-Nahl:106)
لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
Tidak usah kalian minta maaf, karena kalian kafir sesudah beriman. (At-Taubah: 66)
Maksudnya, karena ucapan yang kalian katakan itu, yaitu yang kalian keluarkan untuk memperolok-olok Nabi Saw.
إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً
Jika kami memaafkan segolongan dari kalian (lantaran mereka bertobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain). (At-Taubah: 66)
Yakni kalian tidak dimaafkan secara keseluruhan, tetapi sebagian dari kalian tetap harus diazab.
Sikap Islam Terhadap Pelaku Istihza’
Allah telah berfirman:
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتابِ أَنْ إِذا سَمِعْتُمْ آياتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِها وَيُسْتَهْزَأُ بِها فَلا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذاً مِثْلُهُمْ إِنَّ اللَّهَ جامِعُ الْمُنافِقِينَ وَالْكافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعاً
“Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kalian di dalam Al-Qur'an, bahwa apabila kalian mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kalian duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kalian berbuat demikian), tentulah kalian serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang munafik dan orang kafir di dalam Jahannam.”
Berkaitan dengan ayat ini, Syaikh Abdurrahman As Sa’di mengatakan dalam tafsirnya “Yakni Allah telah menjelaskan kepadamu hukum syar’i berkaitan dengan menghadiri majelis-majelis kufur dan maksiat. Sesungguhnya kewajiban atas setiap mukallaf (orang yang sudah baligh dan berakal sehat) apabila mendengar ayat-ayat Allah adalah mengimaninya, mengagungkan dan memuliakannya. Itulah maksud diturunkannya ayat-ayat Allah. Dialah Allah yang karena-Nya telah menciptakan makhluk. Lawan dari iman adalah mengkufurinya, dan lawan dari pengagungan adalah melecehkan dan merendahkannya. Termasuk di dalamnya adalah perdebatan orang-orang kafir dan munafik untuk membatalkan ayat-ayat Allah dan mendukung kekafiran mereka.
Yakni jika kamu duduk bersama mereka dalam kondisi seperti itu (Melecehkan agama), maka kalian serupa dengan mereka, karena kalian ridha dengan kekufuran dan pelecehan mereka. Orang yang ridha dengan perbuatan maksiat, sama seperti orang yang melakukan maksiat itu sendiri. Walhasil, barangsiapa menghadiri majelis maksiat, yang disitu Allah didurhakai dalam majelis tersebut, maka wajib atas setiap orang yang tahu untuk mengingkarinya apabila ia mampu, atau ia meninggalkan majelis itu bila ia tidak mampu.”
Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Barangsiapa mencaci maki Allah atau mencaci maki salah seorang nabi-Nya, maka bunuhlah dia!”
Demikianlah sikap Islam ketika ada sebagian orang yang melecehkan ajarannya. Keputusannya tegas bahwa setiap orang yang melecehkan nilai-nilai syariat sampai-sampai ia harus dibunuh. Karena bagaimanapun juga, penghinaan mununjukkan kemunafikan atau kebencian seseorang terhadap apa yang dilecehkannya. Dan sifat ini sangat berlawanan dengan prinsip keimanan itu sendiri. Sehingga jika ada orang muslim yang mengolok-olok ajaran Islam, maka dia dihukumi murtad bahkan para ulama sepakat bahwa orang tersebut tetap dihukumi kafir meskipun dia dalam keadaan jahil. 
Maka dari itu seyogyanya kita sebagai umat islam menjaga tutur kata, jangan sampai lisan kita melontarkan hal-hal yang tidak bermanfaat bahkan sampai dengan istihza’ bid din. Karena sekecil apapun itu istihza’, ia tetap mendapat dosa.
Semoga makalah yang tersusun dapat memberi nasihat bagi pembaca sekalian sekaligus sebuah peringatan yang keras untuk kita apalagi umat islam untuk tidak sekali-kali mengucapkan sebuah kata penghinaan untuk islam. Wallohu A’lam Bish Showab.
Referensi:
Al-Qur’an Karim
 Ash-Sharim Al-Maslul 
Istihza’ Bid Din
Kitab Tauhid
Syarh Aqidah Thohawiyah
Syarh Nawaqidul Islam
Tafsir Ibnu Katsir
Tafsir Karimu Rahman