Selasa, 28 November 2017

fiqih mu'amalah pinjam meminjam ('ariyah)

MAKALAH FIQIH MUAMALAH
AL-‘ARIYAH (PINJAM MEMINJAM)
Makalah ditulis untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Fiqih Muamalah
Dosen Pengampu: Ust. Fajrun Mustaqim


Disusun Oleh:
Khaula Zakiyah
Salma Faizah Ar-Rosyidah

AL-MA'HAD AL-'ALY LIDDIRASAH AL-ISLAMIYYAH
HIDAYATURRAHMAN
SRAGEN

2017

BAB I
PENDAHULUAN
Sudah tidak asing lagi kata istilah pinjam-meminjam dalam kehidupan sehari-hari kita. Pada asalnya, manusia adalah makhluk social yang tidak bisa hidup tanpa kemasyarakatan. Hidup dimuka bumi ini pasti selalu melakukan yang namanya kegiatan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari.
Bertransaksi sana-sini untuk menjalankan kehidupan dan tanpa kita sadari pula kita melakukan yang namanya ‘Aariyyah (pinjam-meminjam). Pinjam meminjam kita lakukan baik itu barang, uang ataupun lainnya. Terlebih saat ini banyak kejadian pertikaian ataupun kerusuhan di masyarakat dikarenakan pinjam meminjam. Dan tidak heran kalau hal ini menjadi persoalan setiap masyarakat dan membawanya ke meja hijau. Hal ini terjadi dikarenakan ketidak fahaman akan hak dan kewajiban terhadap yang dipinjamkan.
Berbicara mengenai pinjaman (‘Aariyyah), penulis berminat untuk membahas tuntas mengenai ‘Aariyyah itu sendiri dari pengertian, hukum, syarat, rukun, macam-macam, kewajiban dan lainnya mengenai pinjam meminjam (‘Aariyyah) agar tidak ada kesalah pahaman mengenai pinjam meminjam ini.









BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian
Al-‘Ariyyah dengan huruf ya ditasydidkan dan ada yang ditahfifkan/tidak ditasydid. Al-aariyyah lebih fasih dan lebih masyhur yang ditasydidkan[1]. Al-aariyyah sendiri adalah nama untuk sesuatu yang dipinjamkan, atau akad untuk pinjam meminjam.
Kata Al-aariyyah terambil dari kata ‘aara yang artinya pergi dan datang. Ada juga yang mengatakan bahwa ‘aariyyah terambil dari kata at-tadawur, yang artinya tadaawul atau saling bergantian.
Al- ‘Aariyyah ialah sesuatu yang diberikan kepada orang yang bisa memanfaatkannya hingga waktu tertentu kemudian dikembalikan kepada pemiliknya[2]. Menurut para ulama madzhab Syafi’I dan Hambali ‘aariyyah merupakan pemberian izin kepada orang lain untuk mengambil manfaat dari suatu benda yang dimiliki tanpa adanya imbalan[3].  ‘Aariyyah merupakan sebuah kebaikan yang diperintahkan oleh Alloh sebagaimana firmanNya:
 وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِين
“Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”.
‘ariyah merupakan bolehnya menggunakan atau memanfaatkan suatu barang bukan untuk memilikinya[4]. Berbeda lagi dengan hibbah (hadiah).
B.     Hukum Al-‘Aariyyah
Hukum ‘aariyyah ialah Sunnah, berdasarkan dari firman Alloh:
وَ تَعاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَ التَّقْوَى
Dan tolong- menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa.”

وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْن
“Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
Maka tidak diragukan lagi, bahwasanya menutup kesulitan orang lain dan berbuat baik kepadanya merupakan suatu kebaikan.
Bisa jadi al-‘aariyyah itu hukumnya ialah wajib, misalnya ada seseorang yang sangat membutuhkan baju ketika musim dingin dan ketika itu kamu memiliki baju, maka keadaan seperti inilah yang membuatmu wajib untuk meminjamkannya agar dia terhindar dari dingin.
C.    Rukun Al-‘Aariyyah
Rukun Al-‘Aariyyah ada 4:
1.      Al-Mu’iir(orang yang memberi pinjaman)
2.      Al-Musta’iir(orang yang meminjam)
3.      Al-Musta’ar/ Al-Mu’ar (barang yang dipinjamkan)
4.      As-shighot.[5]
Dan menurut hanafiyah rukun ‘aariyyah ada satu yakni ijab dan qobul, dan ijab dan qobul itu harus ada karena ‘aariyyah itu pindah kepemilikan, dan ‘aariyyah tidak sah tanpa ijab dan qobul. Ijab dan qobulnya tidak disyaratkan harus dengan lafadz, mungkin cukup menyerahkan barang pinjaman kepada si peminjam[6].
D.    Syarat-Syarat dalam ‘Ariyah
1.      Syarat mu’iir
Syaratnya, dia haruslah orang yang memiliki kelayakan untuk bertransaksi tabarru’ atau orang yang mempunyai kewenangan untuk menyumbang secara sukarela tanpa paksaan. Sebab ‘aariyyah merupakan transaksi tabarru’. Dan juga disyaratkan telah dewasa, berakal dan dilakukan tanpa paksaan. Begitu juga menurut Syafi’iyah, Hanabilah, Malikiyah disyaratkan bagi yang memberi pinjaman bukan orang yang diisolasi, entah karena kebodohannya atau bangkrut. Syarat dari al-mu’ir juga ialah berakal (mumayyiz), maka tidak sah pinjam meminjam dilakukan oleh anak kecil dan orang gila, menurut para ulama madzhab Hanafi tidak disyaratkan baligh pada akad ini.
2.      Syarat musta’ir
Syaratnya, dia mampu menerima, ahlliatut tabarru’, baligh, berakal. Dan peminjam harus dita’yiin (jelas orangnya).
3.      Syarat musta’ar/ mu’aar
Setiap barang yang dimiliki, yang bisa dimanfaatkan, dan tetap utuh nilai benda tersebut[7]. Dan dilarang meminjamkan sesuatu yang tidak boleh dimanfaatkan seperti ulat, kumbang, dan sejenisnya. Karena di dalamnya tidak terkandung suatu manfaat. Dan yang diperbolehkan yakni sesuatu yang boleh digunakan/diambil manfaatnya. Begitu pula jika sesuatu itu bisa diambil manfaatnya tapi hukum asal sesuatu itu haram, maka pinjam meminjam dalam hal ini juga tidak diperbolehkan.
Seperti meminjamkan anjing yang liar untuk menjaga keamanan, ini tidak diperbolehkan karena seharusnya anjing tidak untuk dipelihara[8].
Dan haram juga pinjam meminjam dalam masalah farj, sebagaimana firman Alloh:
وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan jangan to­long-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”.
Karena farj tidak halal kecuali untuk suami atau tuannya.
4.      Syarat shighot
Lafadznya menunjukkan perizinan untuk menggunakan atau memanfaatkan suatu barang.[9]

E.     Konsekuensi hukum akad pinjam meminjam
Kata ‘aariyyah (pinjam meminjam) dalam kebiasaan orang-orang digunakan untuk dua makna, yaitu makna hakiki dan makna majazi. Yang akan menjadi pembahasan kita di sini adalah makna hakikinya, yaitu peminjaman terhadap benda-benda yang bisa dimanfaatkan dengan tetap utuhnya sosok benda itu.
Konsekuensi hukumnya, menurut para ulama madzhab Maliki dan jumhur madzhab Hanafi, adalah peminjam memiliki manfaat benda yang dia pinjam tanpa memberi imbalan, atau dia memiliki sesuatu yang bisa dikategorikan sebagai manfaat secara tradisi dan kebiasaan[10].
Al-Kurkhi, para ulama madzhab Syafi’I dan para ulama madzhab Hanbali mengatakan bahwa konsekuensi dari akad pinjam-meminjam adalah peminjam boleh memanfaatkan benda yang ia pinjam.
Konsekuensi perbedaan kedua kelompok di atas dalam mendefinisikan akad pinjam meminjam adalah bahwa menurut kelompok pertama, peminjam boleh meminjamkan kembali barang pinjaman kepada orang lain, walaupun tidak ada izin dari pemiliknya. Tetapi madzhab Maliki mengatakan jika pemilik barang melarang peminjam meminjamkannya kepada orang lain, maka dia tidak boleh meminjamkannya.
Dan menurut madzhab yang kedua, peminjam tidak boleh meminjamkannya kembali barang pinjaman itu. karena akadnya hanya pinjam meminjam saja, sehingga peminjam tidak mempunyai kewenangan untuk memberikan kebolehan kepada orang lain[11].
F.      Hak-hak pemanfaatan benda pinjaman[12]
Jumhur ulama, selain madzhab Hanafi mengatakan bahwa peminjam boleh memanfaatkan benda pinjaman sesuai dengan izin pemiliknya. Menurut madzhab Hanafi mengatakan bahwa hak-hak yang diberikan kepada peminjam dalam akad ini berbeda sesuai dengan bentuk akad itu, apakah ia bersifat mutlak atau dibatasi.
1.      Akad pinjam meminjam yang mutlak adalah jika seseorang meminjam sesuatu tanpa menjelaskan apakah dia menggunakannya sendiri atau untuk orang lain. Dan tidak menjelaskan bagaimana penggunaannya.
Maka konsekuensi dari akad ini, peminjam menempati posisi pemilik barang, sehingga semua yang dilakukan pemilik terhadap barang itu dalam rangka mengambil manfaat darinya juga boleh dilakukan oleh peminjam.
2.      Akad pinjam meminjam yang dibatasi
Adapun akad yang ini adalah dibatasi waktu dan penggunaannya secara bersamaan atau salah satunya. Konsekuensinya peminjam harus memperhatikan batasan itu semampunya.
G.    Sifat konsekuensi hukum akad pinjam-meminjam
Para ulama madzhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali mengatakan bahwa kepemilikan peminjam tidaklah mengikat. Karena ia merupakan kepemilikan yang diperoleh tanpa imbalan, sehingga tidak bisa mengikat sebagaimana kepemilikan karena hibah. Dengan demikian pemilik barang pinjaman boleh mengambil kembali barangnya kapan saja, sebagaimana peminjam boleh mengembalikan kapan saja dia mau, baik itu pinjaman yang bersifat mutlak maupun terbatas oleh waktu. Hal ini selama pemiliknya tidak mengizinkan kepada peminjam untuk menggunakannya untuk sesuatu yang membuatnya rusak jika dikembalikan dalam kondisi itu, atau jika pinjaman itu bersifat mengikat[13].
Pinjaman yang bersifat mengikat seperti jika ada seseorang meminjam tempat tinggal untuk ditempati seorang wanita dalam masa iddah. Dalam kasus ini, pemberi pinjaman tidak boleh mengambil kembali tempat tinggalnya itu hingga habis masa iddah perempuan tersebut.
H.    Sifat hukum ‘ariyah/I’arah
Kita telah mengetahui bahwa I’arah atau yang biasa disebut ‘ariyah adalah mengambil manfaat dengan meminjam sesuatu dari orang lain. Sedangkan untuk sighot I’arah sendiri adalah lafadz apa saja yang menandakan izin pemanfaatan atau peminjaman barang tersebut dari mu’ir (pemilik barang) seperti kalimat A’artuka atau A’irni. I’arah biasanya dilakukan antara kerabat dengan tetangganya atau selainnya.[14]Adapun status barang yang dipinjam, para ulama madzhab berbeda pendapat dalam hal ini :
1.      Syafi’iyyah dan hanafiyyah
Mereka berpendapat mu’ir berhak mengambil kembali barang miliknya yang ada pada musta’ir kapanpun dia menghendakinya.[15] Entah itu pinjaman bertempo ataupun tidak. Mereka bersandar dengan hadits nabi tatkala beliau meminjam baju besi dari shofwan.
Mereka juga beristidlal dengan ayat qur’aniyyah,
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
Mereka berargumen, pemberi pinjaman telah mengizinkan orang lain mengambil manfaat dari miliknya selama waktu yang diketahui, sehingga ia mempunyai hak menariknya dengan akad yang diperbolehkan.
Pun bagi peminjam, ia diperbolehkan mengembalikan kapanpun ia berkehendak mengembalikannya. Entah pinjaman itu bersifat mutlaq ataupun terbatas. Ini juga pendapat imam Abu Hanifah dan imam Ahmad.[16]
2.      Imam Malik
Perkataan imam malik yang masyhur tentang status barang ariyah adalah  Mu’ir tidak berhak membatalkan ataupun menarik kembali sesuatu miliknya sebelum dimanfaatkan oleh musta’ir. Meskipun ada tempo atau jangka waktu. Maka musta’ir masih berhak mengambil manfaat dari barang tersebut. Jika ada batasan waktu peminjaman maka mu’ir harus menunggu sampai waktunya berakhir.[17] Jikalau tidak ada batasan waktu peminjaman, maka pemilik harta boleh mengambil barangnya sesuai waktu yang biasa disepakati oleh kebanyakan orang.[18]
3.      Hanabilah 
Musta’ir  wajib mengembalikannya setelah urusannya selesai.
4.      Jumhur
Kepemilikan bisa dinisbatkan kepada musta’ir jika barang tersebut tergolong ghoiru lazim. Sebagaimana hibah. Pun bagi Mu’ir, ia boleh menarik barangnya kapanpun, kecuali ariyah lazimah seperti meminjam tanah untuk mengubur mayat. Ariyah ini tidak boleh ditarik kembali sampai bekas kuburnya menjadi debu. Juga meminjam tempat untuk tempat tinggal dengan batasan. Maka pemilik tidak bisa menarik pinjaman tersebut. Karena, jika tidak seperti itu, akan terjadi dzoror dikarenakan penarikan barang diluar kesepakatan. Seperti, meminjam tanah untuk bertanam pada musim tertentu. Jika pemilik menariknya sebelum panen, maka akan timbul dzoror karenanya.[19]
Ringkasnya dari permasalahan hak pengembalian pinjaman, pemilik harta boleh mengambil barangnya kapanpun selama tidak merugikan pihak peminjam. Dan bagi peminjam diharuskan baginya mengembalikan barang tersebut jika pemanfaatannya selesai. Sebagaimana firman Allah dalam QS. AnNisa : 58,
I.       Pengecualian ‘Ariyah
tidak semua akad ‘ariyah diperbolehkan antara mu’ir dan musta’ir. Ada beberapa kriteria yang dilarang utuk dilakukan, diantaranya :
Dilarang meminjamkan sesnjata kepada orang kafir untuk memerangi kaum muslimin, atau meminjamkan alat berburu ketika ihram, atau meminjamkna budaknya kepada oranglain. Dan lainnya.
J.      Tanggungan atau amanah?
            Dalam akad ‘ariyah, status kepeminjaman barang oleh musta’ir di perselisihkan oleh para ulama, apakah ia tanggungan atau menjadi amanah bagi musta’ir. Adapun perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah :

1.      Hanafiyyah
Bahwasanya ‘ariyah adalah amanah di tangan musta’ir. Entah barang tersebut digunakan atau tidak, sehingga tidak ada tanggungan baginya kecuali jika ada pelanggaran dan kelalaian oleh musta’ir.[20]  Sebagamana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam,
ليس على المستري غير المغلّ، ضمان
“tidak ada tanggungan bagi peminjam jika tidak merusaknya”
Akad ariyah yang dilakukan menjadi bukti bahwa musta’ir pada hakekatnya sedang menjaga harta orang lain. Dan sebagai bentuk kedermawanan pemilim harta.
2.      Syafi’iyyah
Barang itu menjadi tanggungan. Tetapi jika mu’ir tidak mensyaratkan adanya tanggungan baginya ketika ada kerusakan, maka gugur tanggungan dari tangan musta’ir. Sebagaimana tertera pada hadits nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam,
لما روى صفوان : أن النبيّ ﷺ استعار منه أدرعا يوم حنينِ؛ فقال : أغصبا يا محمّد؟ قال : [ بل عارية مضمونة ].
Diriwayatkan dari Sofwan, bahwasanya Nabi Muhammad meminjam darinya baju besi pada saat perang Hunain. Lantas ia bertanya “ Apakah Engkau akan mengambilnya wahai Rasulullah?” Beliau menjawab :” Tidak, Aku menjaminnya( menanggungnya dan akan dikembalikan).”
            Kaum muslimin telah berijma’ tentang kebolehan meminjam barang orang lain untuk diambil manfaatnya, bahkan menganjurkan itu. Tetapi bukan suatu kewajiban. Bahkan sebagian yang lain mewajibkan  akad ini.
3.      Hanabilah
Peminjam wajib menanggungnya jika barang rusak, entah di tangannya atau tidak. Sengaja maupun tidak sengaja.[21] Mereka bersandar pada hadits Shafwan,
بل العارية مضمون
“Tetapi ditanggung (menjaminnya dan akan dikembalikan)
Alasannya adalah, peminjam mengambil manfaat dari barang tersebut untuk dirinya sendiri, dan hanya untuk memanfaatkannya bukan memilikinya. Dan ia juga tidak ada izin atau diperbolehkan merusaknya. Seperti ghozob.[22]sehingga Ariyah adalah akad yang memiliki resiko ganti rugi.
Tetapi sebagian dari mereka mengatakan, barang pinjaman tersebut statusnya amanah. Karenanya tidak dibebankan kepada peminjam jika terjadi kerusakan kecuali karena kesalahannya. Tetapi kerusakan yang diterima adalah pengakuan peminjam. Ini adalah pendapat Hasan Bashri, An-Nakho’I, Al Auza’I, dan At Tsauri.[23]
4.      Adapun pendapat Malikiyyah, Atho’, Imam Syafi’I, Ishak, dan selainnya
Mereka berpendapat bahwa status ‘ariyah adalah amanah. Sehingga tak wajib menggantinya jika barang tersebut rusak kecuali kerusakan tersebut akibat perbuatannya, maka ia harus menggantinya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Amru bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya, bahwasannya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda,
ليس على المستري غير المغلّ، ضمان
"Tidak ada tanggungan bagi peminjam jika ia tidak merusaknya”
Karena mereka menerima barang tersebut atas izin pemiliknya, sehingga menjadi amanah baginya. Seperti barang titipan.[24] Mereka juga berhujjah dengan dalil perkataan Nabi,
العارية مؤدّاة
"pinjaman itu ditunaikan”
Kemudian mereka mengaitkan hadits tersebut dengan QS. An-Nisa : 58. Yang mana artinya menunjukkan amanah.

Dalam kitab Al-Wajiz fie Al-Fiqh Islam disebutkan, jika sifat barang tersebut bisa disimpan atau disembunyikan seperti pakaian, perhiasan. Maka, barang pinjaman tersebut menjadi tanggungan musta’ir jika barang tersebut hilang menurut pengakuannya tetapi musta’ir tidak bisa mendatangkan bukti. Tetapi, jika sifat barang tersebut bukan sesuatu yang mudah disembunyikan maka tidak menjadi tanggungan musta’ir apabila hilang. Seperti hewan, rumah, tanah dan selainnya.
5.      Qatadah dan ulama lainnya
Apabila pemilik barang mensyaratkan kepada peminjam adanya tanggungan jika terjadi kerusakan, maka tanggungan menjadi beban peminjam. Jika tidak disyaratkan maka bukan tanggungan peminjam.
K.    Tanggung jawab peminjam
Status pinjaman termasuk amanah ditangan musta’ir, tetapi bisa juga menjadi tanggungan karena beberapa hal, diantaranya :   :
1.      Barang tersebut sengaja dihilangkan
2.      Dirusak
3.      Dicuri
4.      Menahannya ketika pemilik memintanya, atau setelah batasan peminjaman habis
5.      Tidak menjaganya dalam masa penggunaan
6.      Menyewakannya
7.      Memakai diluar ketentuan juga diluar kebiasaan
8.      dan berbeda cara menjaganya.
Sehingga, beban dinisbatkan kepada musta’ir. Maka, kewajiban menanggungnya dialihkan kepadanya dan pada kenyataannya, musta’ir mengambil manfa’at dari peminjaman tersebut sehingga sudah menjadi kewajiban musta’ir untuk mengembalikannya.[25]






BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Al- ‘Aariyyah ialah sesuatu yang diberikan kepada orang yang bisa memanfaatkannya hingga waktu tertentu kemudian dikembalikan kepada pemiliknya[26]. Sedangkan ‘ariyah merupakan bolehnya menggunakan atau memanfaatkan suatu barang bukan untuk memilikinya[27].
Hukum ‘aariyyah ialah Sunnah, berdasarkan dari firman Alloh:
وَ تَعاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَ التَّقْوَى
Bisa jadi al-‘aariyyah itu hukumnya ialah wajib, misalnya ada seseorang yang sangat membutuhkan baju ketika musim dingin.
Rukun Al-‘Aariyyah: Al-Mu’iir,Al-Musta’iir,Al-Musta’ar,As-shighot.[28] Syarat mu’iir yaitu memiliki kelayakan untuk bertransaksi tabarru’. Syarat musta’ir, dia mampu menerima, ahlliatut tabarru’. Syarat musta’ar, Setiap barang yang dimiliki, yang bisa dimanfaatkan, dan tetap utuh nilai benda tersebut[29]. Syarat shighot,Lafadznya menunjukkan perizinan untuk menggunakan atau memanfaatkan suatu barang.[30]
konsekuensi dari akad pinjam-meminjam adalah peminjam boleh memanfaatkan benda yang ia pinjam. Tetapi peminjam tidak boleh meminjamkannya kembali barang pinjaman itu. karena akadnya hanya pinjam meminjam saja, sehingga peminjam tidak mempunyai kewenangan untuk memberikan kebolehan kepada orang lain[31].
Untuk hak pengembalian pinjaman, pemilik harta boleh mengambil barangnya kapanpun selama tidak merugikan pihak peminjam. Dan bagi peminjam diharuskan baginya mengembalikan barang tersebut jika pemanfaatannya selesai.
 Sebagian dari mereka mengatakan, barang pinjaman tersebut statusnya amanah. Karenanya tidak dibebankan kepada peminjam jika terjadi kerusakan kecuali karena kesalahannya. Tetapi kerusakan yang diterima adalah pengakuan peminjam. Ini adalah pendapat Hasan Bashri, An-Nakho’I, Al Auza’I, dan At Tsauri.[32]
Status pinjaman termasuk amanah ditangan musta’ir, tetapi bisa juga menjadi tanggungan karena beberapa hal, diantaranya :Barang tersebut sengaja dihilangkan, Dirusak, Dicuri, Menahannya ketika pemilik memintanya, atau setelah batasan peminjaman habis, Tidak menjaganya dalam masa penggunaan, Menyewakannya, Memakai diluar ketentuan juga diluar kebiasaan,dan berbeda cara menjaganya.
















DAFTAR PUSTAKA


.Abu Bakar Jabir Al Jaziri, Minhajul muslim (Damaskus,Darul Fikr ).
Abdurrohman Al-Jazari, Al-Fiqh ‘ala Madzhahibi Al-Arba’ah, jilid 3, (Beirut, Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah) 2011, cet.4.
Abi ‘Amru Al-Marani, Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, ( Beirut : Darul kutub Al-Ilmiyah. 2011 ) juz 15.
 Abi Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi Al-Bashri, Al-Khawi Kabir, jilid 7, (Beirut,  Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah) 1994.
Abu Bakar bin Muhammad Syuto Ad-Dimyati, Khasiyatu ‘Ianatut Tholibin, jilid 3, (Jakarta, Dar Al-Kutub Al-Islamiyah) 2009.
Abu Bakar Jabir Al Jaziri, Minhajul muslim (Damaskus, Darul Fikr ) hal.355.
dr.Wahbah Az-Zuhaili, Terjemah Al-Fiqhu Islam wa Adilatuhu , jild 5, (Damaskus, Darul Fikr),2007, cet.10.
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Al-Mughni, ( Riyadh: Darul ‘Alim AlKutub, 1997) juz 7.
Ibnu Rusydi Al-Qurtuby, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, (Beirut : Darul Ma’rifah, 1982) juz 2.
 Muhammad bin Ahmad Al-Khatiib Asy-Syarbini, Mughni muhtaj, jilid 2, (Damaskus, Darul Fikr), 2009.
 Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin, Fathu Dzil Jalali wal Ikrom,jilid 4, ( Kairo, Al-Maktabah Al-Islamiyah) 2006.
Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin, Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’, jilid 4, (Kairo, Jannatul Afkar) 2008.
Syaik Muhammad bin Abdurrahman Ad Dimasyqi, Fiqh Empat Madzhab, ( Bandung: Hasyimi, 2016).
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Wajiz fie Fiqh Islam, (Damaskus : Darul Fikr, 2006) juz 2




[1] . Muhammad bin Ahmad Al-Khatiib Asy-Syarbini, Mughni muhtaj, jilid 2, (Damaskus, darul fikr), 2009, hlm.263.
[2] .Abu Bakar Jabir Al Jaziri, Minhajul muslim (Damaskus,Darul Fikr ) hal.355.
[3] .Muhammad bin Ahmad Al-Khatiib Asy-Syarbini, Mughni muhtaj, jilid 2, (Damaskus, darul fikr), 2009, hlm.264.
[4] . Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin, Fathu Dzil Jalali wal Ikrom,jilid 4, ( Kairo, Al-Maktabah Al-Islamiyah) 2006, hlm.194
[5]. Abdurrohman Al-Jazari, Al-Fiqh ‘ala Madzhahibi Al-Arba’ah, jilid 3, (Beirut, Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah) 2011, cet.4, hlm.240.
[6]. Abdurrohman Al-Jazari, Al- Fiqh ‘ala Madzhahibi Al-Arba’ah, jilid 3, (Beirut, Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah), 2011, cet.4, hlm. 239.
[7] . Abi Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi Al-Bashri, Al-Khawi Kabir, jilid 7, (Beirut,  Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah) 1994, hlm. 115.
[8] .Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin, Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’, jilid 4, (Kairo, Jannatul Afkar) 2008, hlm. 291.
[9].Abu Bakar bin Muhammad Syuto Ad-Dimyati, Khasiyatu ‘Ianatut Tholibin, jilid 3, (Jakarta, Dar Al-Kutub Al-Islamiyah) 2009, hlm. 235.
[10]. dr.Wahbah Az-Zuhaili, Terjemah Al-Fiqhu Islam wa Adilatuhu , jild 5, (Damaskus, Darul Fikr),2007, cet.10 hlm. 576.
[11].ibid, hlm.576.
[12].ibid, hlm 577.
[13]. dr.Wahbah Az-Zuhaili, Terjemah Al-Fiqh Islam wa Adilatuhu, jiild 5, (Damaskus, darul fikr), 2007 cet.10, hlm.573.      
[14] Abi ‘Amru Al-Marani, Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, ( Beirut : Darul kutub Al-Ilmiyah. 2011 ) juz 15, hlm 304
[15] Ibnu Rusydi Al-Qurtuby, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, (Beirut : darul ma’rifah, 1982) juz 2 hal 313
[16] Abi ‘Amru Al-Marani, Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, ( Beirut : Darul kutub Al-Ilmiyah. 2011 ) juz 15, hlm 318
[17] Ibid, 318
[18] Wahbah Az-Zuhaili, Al-Wajiz fie Fiqh Islam, (Damaskus : Darul Fikr, 2006) juz 2 hlm 184
[19] Wahbah Az-Zuhaili, Al-Wajiz fie Fiqh Islam, (Damaskus : Darul Fikr, 2006) juz 2 hlm 184             
[20] Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Al-Mughni, ( Riyadh: Darul ‘Alim AlKutub, 1997) juz 7 hlm 351

[21] Ibid, 351
[22] Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Al-Mughni, ( Berut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2008) juz 4 hlm 251
[23] Syaik Muhammad bin Abdurrahman Ad Dimasyqi, Fiqh Empat Madzhab, ( Bandung: Hasyimi, 2016) hlm 263
[24] Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Al-Mughni, ( Berut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2008) juz 4 hlm 251
[25] Wahbah Az-Zuhaili, Al-Wajiz fil Fiqh Islami, ( Damaskus : Darul Fikr, 2006) juz 2 hlm 186
[26] .Abu Bakar Jabir Al Jaziri, Minhajul muslim (Damaskus, Darul Fikr ) hal.355.
[27] . Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin, Fathu Dzil Jalali wal Ikrom,jilid 4, ( Kairo, Al-Maktabah Al-Islamiyah) 2006, hlm.194
[28]. Abdurrohman Al-Jazari, Al-Fiqh ‘ala Madzhahibi Al-Arba’ah, jilid 3, (Beirut, Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah) 2011, cet.4, hlm.240.
[29] . Abi Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi Al-Bashri, Al-Khawi Kabir, jilid 7, (Beirut,  Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah) 1994, hlm. 115.
[30].Abu Bakar bin Muhammad Syuto Ad-Dimyati, Khasiyatu ‘Ianatut Tholibin, jilid 3, (Jakarta, Dar Al-Kutub Al-Islamiyah) 2009, hlm. 235.
[31].ibid, hlm.576.
[32] Syaik Muhammad bin Abdurrahman Ad Dimasyqi, Fiqh Empat Madzhab, ( Bandung: Hasyimi, 2016) hlm 263

0 komentar:

Posting Komentar