MAKALAH FIQIH MUAMALAH
AL-‘ARIYAH (PINJAM MEMINJAM)
Makalah ditulis untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Fiqih
Muamalah
Dosen Pengampu: Ust. Fajrun Mustaqim

Disusun Oleh:
Khaula Zakiyah
Salma Faizah Ar-Rosyidah
AL-MA'HAD AL-'ALY LIDDIRASAH AL-ISLAMIYYAH
HIDAYATURRAHMAN
SRAGEN
2017
BAB I
PENDAHULUAN
Sudah tidak asing lagi kata istilah
pinjam-meminjam dalam kehidupan sehari-hari kita. Pada asalnya, manusia adalah
makhluk social yang tidak bisa hidup tanpa kemasyarakatan. Hidup dimuka bumi ini pasti selalu melakukan yang
namanya kegiatan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari.
Bertransaksi sana-sini untuk
menjalankan kehidupan dan tanpa kita sadari pula kita melakukan yang namanya ‘Aariyyah
(pinjam-meminjam). Pinjam meminjam kita lakukan baik itu barang, uang ataupun
lainnya. Terlebih saat ini banyak kejadian pertikaian ataupun kerusuhan di
masyarakat dikarenakan pinjam meminjam. Dan tidak heran kalau hal ini menjadi
persoalan setiap masyarakat dan membawanya ke meja hijau. Hal ini terjadi
dikarenakan ketidak fahaman akan hak dan kewajiban terhadap yang dipinjamkan.
Berbicara
mengenai pinjaman (‘Aariyyah), penulis berminat untuk membahas tuntas
mengenai ‘Aariyyah itu sendiri dari pengertian, hukum, syarat, rukun,
macam-macam, kewajiban dan lainnya mengenai pinjam meminjam (‘Aariyyah)
agar tidak ada kesalah pahaman mengenai pinjam meminjam ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Al-‘Ariyyah dengan huruf
ya ditasydidkan dan ada yang ditahfifkan/tidak ditasydid. Al-aariyyah
lebih fasih dan lebih masyhur yang ditasydidkan[1].
Al-aariyyah sendiri adalah nama untuk sesuatu yang dipinjamkan, atau
akad untuk pinjam meminjam.
Kata Al-aariyyah terambil dari kata ‘aara yang
artinya pergi dan datang. Ada juga yang mengatakan bahwa ‘aariyyah
terambil dari kata at-tadawur, yang artinya tadaawul atau saling
bergantian.
Al- ‘Aariyyah ialah sesuatu yang diberikan kepada orang
yang bisa memanfaatkannya hingga waktu tertentu kemudian dikembalikan kepada
pemiliknya[2].
Menurut para ulama madzhab Syafi’I dan Hambali ‘aariyyah merupakan
pemberian izin kepada orang lain untuk mengambil manfaat dari suatu benda yang
dimiliki tanpa adanya imbalan[3].
‘Aariyyah merupakan sebuah
kebaikan yang diperintahkan oleh Alloh sebagaimana firmanNya:
وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ
اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِين
“Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berbuat baik”.
‘ariyah merupakan
bolehnya menggunakan atau memanfaatkan suatu barang bukan untuk
memilikinya[4].
Berbeda lagi dengan hibbah (hadiah).
B.
Hukum Al-‘Aariyyah
Hukum ‘aariyyah ialah Sunnah, berdasarkan dari firman Alloh:
وَ تَعاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَ التَّقْوَى
“Dan tolong-
menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa.”
وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
الْمُحْسِنِيْن
“Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berbuat baik.”
Maka tidak diragukan lagi, bahwasanya menutup kesulitan orang lain
dan berbuat baik kepadanya merupakan suatu kebaikan.
Bisa jadi al-‘aariyyah itu hukumnya ialah wajib, misalnya
ada seseorang yang sangat membutuhkan baju ketika musim dingin dan ketika itu
kamu memiliki baju, maka keadaan seperti inilah yang membuatmu wajib untuk
meminjamkannya agar dia terhindar dari dingin.
C.
Rukun Al-‘Aariyyah
Rukun Al-‘Aariyyah
ada 4:
1.
Al-Mu’iir(orang yang
memberi pinjaman)
2.
Al-Musta’iir(orang yang
meminjam)
3.
Al-Musta’ar/ Al-Mu’ar (barang yang
dipinjamkan)
Dan menurut hanafiyah rukun ‘aariyyah
ada satu yakni ijab dan qobul, dan ijab dan qobul itu harus ada karena ‘aariyyah
itu pindah kepemilikan, dan ‘aariyyah tidak sah tanpa ijab dan qobul. Ijab
dan qobulnya tidak disyaratkan harus dengan lafadz, mungkin cukup menyerahkan
barang pinjaman kepada si peminjam[6].
D.
Syarat-Syarat
dalam ‘Ariyah
1.
Syarat mu’iir
Syaratnya, dia haruslah orang yang
memiliki kelayakan untuk bertransaksi tabarru’ atau orang yang mempunyai
kewenangan untuk menyumbang secara sukarela tanpa paksaan. Sebab ‘aariyyah merupakan
transaksi tabarru’. Dan juga disyaratkan telah dewasa, berakal dan
dilakukan tanpa paksaan. Begitu juga menurut Syafi’iyah, Hanabilah, Malikiyah
disyaratkan bagi yang memberi pinjaman bukan orang yang diisolasi, entah karena
kebodohannya atau bangkrut. Syarat dari al-mu’ir juga ialah berakal
(mumayyiz), maka tidak sah pinjam meminjam dilakukan oleh anak kecil dan orang
gila, menurut para ulama madzhab Hanafi tidak disyaratkan baligh pada akad ini.
2.
Syarat musta’ir
Syaratnya, dia mampu menerima, ahlliatut
tabarru’, baligh, berakal. Dan peminjam harus dita’yiin (jelas
orangnya).
3.
Syarat musta’ar/ mu’aar
Setiap barang yang dimiliki, yang bisa
dimanfaatkan, dan tetap utuh nilai benda tersebut[7].
Dan dilarang meminjamkan sesuatu yang tidak boleh dimanfaatkan seperti ulat,
kumbang, dan sejenisnya. Karena di dalamnya tidak terkandung suatu manfaat. Dan
yang diperbolehkan yakni sesuatu yang boleh digunakan/diambil manfaatnya.
Begitu pula jika sesuatu itu bisa diambil manfaatnya tapi hukum asal sesuatu
itu haram, maka pinjam meminjam dalam hal ini juga tidak diperbolehkan.
Seperti meminjamkan anjing yang liar untuk
menjaga keamanan, ini tidak diperbolehkan karena seharusnya anjing tidak untuk
dipelihara[8].
Dan haram juga pinjam meminjam dalam masalah
farj, sebagaimana firman Alloh:
وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”.
Karena farj
tidak halal kecuali untuk suami atau tuannya.
4.
Syarat shighot
Lafadznya menunjukkan perizinan untuk
menggunakan atau memanfaatkan suatu barang.[9]
E.
Konsekuensi
hukum akad pinjam meminjam
Kata ‘aariyyah (pinjam meminjam) dalam kebiasaan orang-orang
digunakan untuk dua makna, yaitu makna hakiki dan makna majazi. Yang akan
menjadi pembahasan kita di sini adalah makna hakikinya, yaitu peminjaman
terhadap benda-benda yang bisa dimanfaatkan dengan tetap utuhnya sosok benda
itu.
Konsekuensi hukumnya, menurut para ulama madzhab Maliki dan jumhur
madzhab Hanafi, adalah peminjam memiliki manfaat benda yang dia pinjam tanpa
memberi imbalan, atau dia memiliki sesuatu yang bisa dikategorikan sebagai
manfaat secara tradisi dan kebiasaan[10].
Al-Kurkhi, para ulama madzhab Syafi’I dan para ulama madzhab
Hanbali mengatakan bahwa konsekuensi dari akad pinjam-meminjam adalah peminjam
boleh memanfaatkan benda yang ia pinjam.
Konsekuensi perbedaan kedua kelompok di atas dalam mendefinisikan
akad pinjam meminjam adalah bahwa menurut kelompok pertama, peminjam boleh
meminjamkan kembali barang pinjaman kepada orang lain, walaupun tidak ada izin
dari pemiliknya. Tetapi madzhab Maliki mengatakan jika pemilik barang melarang
peminjam meminjamkannya kepada orang lain, maka dia tidak boleh meminjamkannya.
Dan menurut madzhab yang kedua, peminjam tidak boleh meminjamkannya
kembali barang pinjaman itu. karena akadnya hanya pinjam meminjam saja,
sehingga peminjam tidak mempunyai kewenangan untuk memberikan kebolehan kepada
orang lain[11].
Jumhur ulama, selain madzhab Hanafi mengatakan bahwa peminjam boleh
memanfaatkan benda pinjaman sesuai dengan izin pemiliknya. Menurut madzhab
Hanafi mengatakan bahwa hak-hak yang diberikan kepada peminjam dalam akad ini
berbeda sesuai dengan bentuk akad itu, apakah ia bersifat mutlak atau dibatasi.
1.
Akad pinjam meminjam yang mutlak
adalah jika seseorang meminjam sesuatu tanpa menjelaskan apakah dia
menggunakannya sendiri atau untuk orang lain. Dan tidak menjelaskan bagaimana
penggunaannya.
Maka konsekuensi dari akad ini, peminjam
menempati posisi pemilik barang, sehingga semua yang dilakukan pemilik terhadap
barang itu dalam rangka mengambil manfaat darinya juga boleh dilakukan oleh
peminjam.
2.
Akad pinjam meminjam yang dibatasi
Adapun akad yang ini adalah dibatasi waktu dan
penggunaannya secara bersamaan atau salah satunya. Konsekuensinya peminjam
harus memperhatikan batasan itu semampunya.
G.
Sifat
konsekuensi hukum akad pinjam-meminjam
Para ulama madzhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali mengatakan bahwa
kepemilikan peminjam tidaklah mengikat. Karena ia merupakan kepemilikan yang
diperoleh tanpa imbalan, sehingga tidak bisa mengikat sebagaimana kepemilikan
karena hibah. Dengan demikian pemilik barang pinjaman boleh mengambil
kembali barangnya kapan saja, sebagaimana peminjam boleh mengembalikan kapan
saja dia mau, baik itu pinjaman yang bersifat mutlak maupun terbatas oleh waktu.
Hal ini selama pemiliknya tidak mengizinkan kepada peminjam untuk
menggunakannya untuk sesuatu yang membuatnya rusak jika dikembalikan dalam
kondisi itu, atau jika pinjaman itu bersifat mengikat[13].
Pinjaman yang bersifat mengikat seperti jika ada seseorang meminjam
tempat tinggal untuk ditempati seorang wanita dalam masa iddah. Dalam kasus
ini, pemberi pinjaman tidak boleh mengambil kembali tempat tinggalnya itu
hingga habis masa iddah perempuan tersebut.
H.
Sifat hukum
‘ariyah/I’arah
Kita telah mengetahui bahwa I’arah atau yang biasa disebut ‘ariyah
adalah mengambil manfaat dengan meminjam sesuatu dari orang lain. Sedangkan
untuk sighot I’arah sendiri adalah lafadz apa saja yang menandakan izin
pemanfaatan atau peminjaman barang tersebut dari mu’ir (pemilik barang) seperti
kalimat A’artuka atau A’irni. I’arah biasanya dilakukan antara
kerabat dengan tetangganya atau selainnya.[14]Adapun
status barang yang dipinjam, para ulama madzhab berbeda pendapat dalam hal ini
:
1.
Syafi’iyyah dan hanafiyyah
Mereka berpendapat mu’ir berhak mengambil kembali barang miliknya
yang ada pada musta’ir kapanpun dia menghendakinya.[15] Entah itu pinjaman bertempo ataupun tidak. Mereka
bersandar dengan hadits nabi tatkala beliau meminjam baju besi dari shofwan.
Mereka juga
beristidlal dengan ayat qur’aniyyah,
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا
بِالْعُقُودِ
Mereka berargumen, pemberi pinjaman telah mengizinkan orang lain
mengambil manfaat dari miliknya selama waktu yang diketahui, sehingga ia
mempunyai hak menariknya dengan akad yang diperbolehkan.
Pun bagi peminjam, ia diperbolehkan mengembalikan kapanpun ia
berkehendak mengembalikannya. Entah pinjaman itu
bersifat mutlaq ataupun terbatas. Ini juga pendapat imam Abu Hanifah dan imam
Ahmad.[16]
2.
Imam Malik
Perkataan imam malik yang masyhur tentang status barang ariyah adalah Mu’ir tidak berhak membatalkan ataupun
menarik kembali sesuatu miliknya sebelum dimanfaatkan oleh musta’ir. Meskipun
ada tempo atau jangka waktu. Maka musta’ir masih berhak mengambil manfaat dari
barang tersebut. Jika ada batasan waktu peminjaman maka mu’ir harus menunggu
sampai waktunya berakhir.[17]
Jikalau tidak ada batasan waktu peminjaman, maka pemilik harta boleh
mengambil barangnya sesuai waktu yang biasa disepakati oleh kebanyakan orang.[18]
3.
Hanabilah
Musta’ir wajib mengembalikannya setelah urusannya
selesai.
4.
Jumhur
Kepemilikan bisa dinisbatkan kepada musta’ir jika barang tersebut
tergolong ghoiru lazim. Sebagaimana hibah. Pun bagi Mu’ir, ia boleh
menarik barangnya kapanpun, kecuali ariyah lazimah seperti meminjam
tanah untuk mengubur mayat. Ariyah ini tidak boleh ditarik kembali sampai bekas
kuburnya menjadi debu. Juga meminjam tempat untuk tempat tinggal dengan
batasan. Maka pemilik tidak bisa menarik pinjaman tersebut. Karena, jika tidak
seperti itu, akan terjadi dzoror dikarenakan penarikan barang diluar
kesepakatan. Seperti, meminjam tanah untuk bertanam pada musim tertentu. Jika
pemilik menariknya sebelum panen, maka akan timbul dzoror karenanya.[19]
Ringkasnya dari permasalahan hak pengembalian pinjaman, pemilik
harta boleh mengambil barangnya kapanpun selama tidak merugikan pihak peminjam.
Dan bagi peminjam diharuskan baginya mengembalikan barang tersebut jika
pemanfaatannya selesai. Sebagaimana firman Allah dalam QS. AnNisa : 58,
I. Pengecualian ‘Ariyah
tidak semua akad ‘ariyah diperbolehkan antara
mu’ir dan musta’ir. Ada beberapa kriteria yang dilarang utuk dilakukan,
diantaranya :
Dilarang meminjamkan sesnjata kepada orang
kafir untuk memerangi kaum muslimin, atau meminjamkan alat berburu ketika
ihram, atau meminjamkna budaknya kepada oranglain. Dan lainnya.
J.
Tanggungan
atau amanah?
Dalam
akad ‘ariyah, status kepeminjaman barang oleh musta’ir di perselisihkan oleh
para ulama, apakah ia tanggungan atau menjadi amanah bagi musta’ir. Adapun
perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah :
1.
Hanafiyyah
Bahwasanya ‘ariyah adalah amanah di tangan
musta’ir. Entah barang tersebut digunakan atau tidak, sehingga tidak ada
tanggungan baginya kecuali jika ada pelanggaran dan kelalaian oleh musta’ir.[20] Sebagamana sabda Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wassalam,
ليس على المستري غير المغلّ، ضمان
“tidak ada
tanggungan bagi peminjam jika tidak merusaknya”
Akad ariyah
yang dilakukan menjadi bukti bahwa musta’ir pada hakekatnya sedang menjaga
harta orang lain. Dan sebagai bentuk kedermawanan pemilim harta.
2.
Syafi’iyyah
Barang itu menjadi tanggungan. Tetapi jika mu’ir tidak mensyaratkan
adanya tanggungan baginya ketika ada kerusakan, maka gugur tanggungan dari
tangan musta’ir. Sebagaimana tertera pada hadits nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wassalam,
لما روى صفوان : أن النبيّ ﷺ استعار منه أدرعا
يوم حنينِ؛ فقال : أغصبا يا محمّد؟ قال : [ بل عارية مضمونة ].
“Diriwayatkan
dari Sofwan, bahwasanya Nabi Muhammad meminjam darinya baju besi pada saat
perang Hunain. Lantas ia bertanya “ Apakah Engkau akan mengambilnya wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab :” Tidak, Aku menjaminnya( menanggungnya dan akan
dikembalikan).”
Kaum muslimin telah berijma’ tentang kebolehan meminjam barang
orang lain untuk diambil manfaatnya, bahkan menganjurkan itu. Tetapi bukan
suatu kewajiban. Bahkan sebagian yang lain mewajibkan akad ini.
3.
Hanabilah
Peminjam wajib
menanggungnya jika barang rusak, entah di tangannya atau tidak. Sengaja maupun
tidak sengaja.[21]
Mereka bersandar pada hadits Shafwan,
بل العارية مضمون
“Tetapi
ditanggung (menjaminnya dan akan dikembalikan)”
Alasannya adalah, peminjam mengambil manfaat dari barang tersebut
untuk dirinya sendiri, dan hanya untuk memanfaatkannya bukan memilikinya. Dan
ia juga tidak ada izin atau diperbolehkan merusaknya. Seperti ghozob.[22]sehingga Ariyah adalah akad yang memiliki resiko ganti rugi.
Tetapi sebagian dari mereka mengatakan, barang pinjaman tersebut
statusnya amanah. Karenanya tidak dibebankan kepada peminjam jika terjadi
kerusakan kecuali karena kesalahannya. Tetapi kerusakan yang diterima adalah
pengakuan peminjam. Ini adalah pendapat Hasan Bashri, An-Nakho’I, Al Auza’I,
dan At Tsauri.[23]
4.
Adapun pendapat Malikiyyah, Atho’,
Imam Syafi’I, Ishak, dan selainnya
Mereka berpendapat bahwa status ‘ariyah adalah amanah. Sehingga tak
wajib menggantinya jika barang tersebut rusak kecuali kerusakan tersebut akibat
perbuatannya, maka ia harus menggantinya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Amru
bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya, bahwasannya Nabi Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda,
ليس على المستري غير المغلّ، ضمان
"Tidak ada
tanggungan bagi peminjam jika ia tidak merusaknya”
Karena mereka menerima barang tersebut atas izin pemiliknya,
sehingga menjadi amanah baginya. Seperti barang titipan.[24] Mereka juga
berhujjah dengan dalil perkataan Nabi,
العارية مؤدّاة
"pinjaman itu
ditunaikan”
Kemudian mereka mengaitkan hadits tersebut dengan QS. An-Nisa : 58.
Yang mana artinya menunjukkan amanah.
Dalam kitab Al-Wajiz fie Al-Fiqh Islam disebutkan, jika sifat barang
tersebut bisa disimpan atau disembunyikan seperti pakaian, perhiasan. Maka, barang pinjaman tersebut menjadi tanggungan
musta’ir jika barang tersebut hilang menurut pengakuannya
tetapi musta’ir tidak bisa mendatangkan bukti. Tetapi, jika sifat barang
tersebut bukan sesuatu yang mudah disembunyikan maka tidak menjadi tanggungan
musta’ir apabila hilang. Seperti hewan, rumah, tanah dan selainnya.
5. Qatadah dan ulama lainnya
Apabila pemilik barang mensyaratkan kepada
peminjam adanya tanggungan jika terjadi kerusakan, maka tanggungan menjadi
beban peminjam. Jika tidak disyaratkan maka bukan tanggungan peminjam.
K. Tanggung jawab peminjam
Status pinjaman termasuk amanah ditangan musta’ir, tetapi bisa juga menjadi
tanggungan karena beberapa hal, diantaranya :
:
1. Barang tersebut sengaja dihilangkan
2. Dirusak
3. Dicuri
4. Menahannya ketika pemilik memintanya, atau setelah
batasan peminjaman habis
5. Tidak menjaganya dalam masa penggunaan
6. Menyewakannya
7. Memakai diluar ketentuan juga diluar kebiasaan
8. dan berbeda cara menjaganya.
Sehingga, beban dinisbatkan kepada musta’ir.
Maka, kewajiban menanggungnya dialihkan kepadanya dan pada kenyataannya,
musta’ir mengambil manfa’at dari peminjaman tersebut sehingga sudah menjadi
kewajiban musta’ir untuk mengembalikannya.[25]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Al- ‘Aariyyah ialah sesuatu yang diberikan kepada orang
yang bisa memanfaatkannya hingga waktu tertentu kemudian dikembalikan kepada
pemiliknya[26].
Sedangkan ‘ariyah merupakan bolehnya menggunakan atau memanfaatkan suatu
barang bukan untuk memilikinya[27].
Hukum ‘aariyyah ialah Sunnah, berdasarkan dari firman Alloh:
وَ تَعاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَ التَّقْوَى
Bisa jadi al-‘aariyyah itu hukumnya ialah wajib, misalnya
ada seseorang yang sangat membutuhkan baju ketika musim dingin.
Rukun Al-‘Aariyyah: Al-Mu’iir,Al-Musta’iir,Al-Musta’ar,As-shighot.[28]
Syarat mu’iir yaitu memiliki kelayakan untuk bertransaksi
tabarru’. Syarat musta’ir, dia mampu menerima, ahlliatut
tabarru’. Syarat musta’ar, Setiap barang yang
dimiliki, yang bisa dimanfaatkan, dan tetap utuh nilai benda tersebut[29].
Syarat shighot,Lafadznya menunjukkan perizinan untuk menggunakan
atau memanfaatkan suatu barang.[30]
konsekuensi dari akad pinjam-meminjam adalah peminjam boleh
memanfaatkan benda yang ia pinjam. Tetapi peminjam tidak boleh meminjamkannya
kembali barang pinjaman itu. karena akadnya hanya pinjam meminjam saja,
sehingga peminjam tidak mempunyai kewenangan untuk memberikan kebolehan kepada
orang lain[31].
Untuk hak pengembalian pinjaman, pemilik harta boleh mengambil
barangnya kapanpun selama tidak merugikan pihak peminjam. Dan bagi peminjam
diharuskan baginya mengembalikan barang tersebut jika pemanfaatannya selesai.
Sebagian dari mereka
mengatakan, barang pinjaman tersebut statusnya amanah. Karenanya tidak
dibebankan kepada peminjam jika terjadi kerusakan kecuali karena kesalahannya.
Tetapi kerusakan yang diterima adalah pengakuan peminjam. Ini adalah pendapat
Hasan Bashri, An-Nakho’I, Al Auza’I, dan At Tsauri.[32]
Status pinjaman termasuk amanah ditangan
musta’ir, tetapi bisa juga menjadi tanggungan karena beberapa hal, diantaranya
:Barang tersebut sengaja dihilangkan, Dirusak, Dicuri, Menahannya ketika pemilik memintanya, atau
setelah batasan peminjaman habis, Tidak menjaganya dalam
masa penggunaan, Menyewakannya, Memakai diluar ketentuan juga diluar kebiasaan,dan berbeda cara menjaganya.
DAFTAR PUSTAKA
.Abu Bakar
Jabir Al Jaziri, Minhajul muslim (Damaskus,Darul Fikr ).
Abdurrohman
Al-Jazari, Al-Fiqh ‘ala Madzhahibi Al-Arba’ah, jilid 3, (Beirut, Dar
Al-Kotob Al-Ilmiyah) 2011, cet.4.
Abi ‘Amru
Al-Marani, Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, ( Beirut : Darul kutub Al-Ilmiyah.
2011 ) juz 15.
Abi Hasan Ali bin Muhammad bin Habib
Al-Mawardi Al-Bashri, Al-Khawi Kabir, jilid 7, (Beirut, Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah) 1994.
Abu Bakar bin
Muhammad Syuto Ad-Dimyati, Khasiyatu ‘Ianatut Tholibin, jilid 3, (Jakarta, Dar Al-Kutub Al-Islamiyah) 2009.
Abu Bakar
Jabir Al Jaziri, Minhajul muslim (Damaskus, Darul Fikr ) hal.355.
dr.Wahbah
Az-Zuhaili, Terjemah Al-Fiqhu Islam wa Adilatuhu , jild 5,
(Damaskus, Darul Fikr),2007, cet.10.
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Al-Mughni, ( Riyadh: Darul ‘Alim AlKutub,
1997) juz 7.
Ibnu Rusydi
Al-Qurtuby, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, (Beirut : Darul Ma’rifah,
1982) juz 2.
Muhammad bin Ahmad Al-Khatiib Asy-Syarbini,
Mughni muhtaj, jilid 2, (Damaskus, Darul Fikr), 2009.
Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin, Fathu Dzil
Jalali wal Ikrom,jilid 4, ( Kairo, Al-Maktabah
Al-Islamiyah) 2006.
Muhammad bin
Sholih Al-Utsaimin, Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’, jilid 4,
(Kairo, Jannatul Afkar) 2008.
Syaik Muhammad
bin Abdurrahman Ad Dimasyqi, Fiqh Empat Madzhab, ( Bandung: Hasyimi,
2016).
Wahbah
Az-Zuhaili, Al-Wajiz fie Fiqh Islam, (Damaskus : Darul Fikr, 2006) juz 2
[1]
. Muhammad bin Ahmad Al-Khatiib Asy-Syarbini,
Mughni muhtaj, jilid 2, (Damaskus, darul fikr), 2009, hlm.263.
[3] .Muhammad bin Ahmad Al-Khatiib Asy-Syarbini,
Mughni muhtaj, jilid 2, (Damaskus, darul fikr), 2009, hlm.264.
[4] . Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin, Fathu
Dzil Jalali wal Ikrom,jilid 4, ( Kairo, Al-Maktabah Al-Islamiyah) 2006, hlm.194
[5]. Abdurrohman Al-Jazari, Al-Fiqh ‘ala Madzhahibi
Al-Arba’ah, jilid 3, (Beirut, Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah) 2011, cet.4, hlm.240.
[6]. Abdurrohman Al-Jazari, Al- Fiqh ‘ala
Madzhahibi Al-Arba’ah, jilid 3, (Beirut, Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah), 2011,
cet.4, hlm. 239.
[7] . Abi Hasan Ali bin Muhammad bin Habib
Al-Mawardi Al-Bashri, Al-Khawi Kabir, jilid 7, (Beirut, Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah) 1994, hlm. 115.
[8]
.Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin, Syarhul Mumti’
‘ala Zaadil Mustaqni’, jilid 4, (Kairo, Jannatul Afkar) 2008, hlm. 291.
[9].Abu Bakar bin
Muhammad Syuto Ad-Dimyati, Khasiyatu ‘Ianatut Tholibin, jilid 3, (Jakarta, Dar Al-Kutub Al-Islamiyah) 2009,
hlm. 235.
[10]. dr.Wahbah Az-Zuhaili, Terjemah Al-Fiqhu
Islam wa Adilatuhu , jild 5, (Damaskus, Darul Fikr),2007, cet.10 hlm. 576.
[13]. dr.Wahbah Az-Zuhaili, Terjemah Al-Fiqh
Islam wa Adilatuhu, jiild 5, (Damaskus, darul fikr), 2007 cet.10, hlm.573.
[14] Abi ‘Amru Al-Marani, Majmu’ Syarh
Al-Muhadzab, ( Beirut : Darul kutub Al-Ilmiyah. 2011 ) juz 15, hlm 304
[15] Ibnu Rusydi Al-Qurtuby, Bidayatul Mujtahid
wa Nihayatul Muqtashid, (Beirut : darul ma’rifah, 1982) juz 2 hal 313
[16] Abi ‘Amru Al-Marani, Majmu’ Syarh
Al-Muhadzab, ( Beirut : Darul kutub Al-Ilmiyah. 2011 ) juz 15, hlm 318
[23] Syaik Muhammad bin Abdurrahman Ad Dimasyqi, Fiqh
Empat Madzhab, ( Bandung: Hasyimi, 2016) hlm 263
[27] . Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin, Fathu
Dzil Jalali wal Ikrom,jilid 4, ( Kairo, Al-Maktabah Al-Islamiyah) 2006, hlm.194
[28]. Abdurrohman Al-Jazari, Al-Fiqh ‘ala Madzhahibi
Al-Arba’ah, jilid 3, (Beirut, Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah) 2011, cet.4, hlm.240.
[29] . Abi Hasan Ali bin Muhammad bin Habib
Al-Mawardi Al-Bashri, Al-Khawi Kabir, jilid 7, (Beirut, Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah) 1994, hlm. 115.
[30].Abu Bakar bin
Muhammad Syuto Ad-Dimyati, Khasiyatu ‘Ianatut Tholibin, jilid 3, (Jakarta, Dar Al-Kutub Al-Islamiyah)
2009, hlm. 235.
[32] Syaik Muhammad bin Abdurrahman Ad Dimasyqi, Fiqh
Empat Madzhab, ( Bandung: Hasyimi, 2016) hlm 263
0 komentar:
Posting Komentar